Sejarah Hari Ini
14 Maret Dalam Sejarah, Bung Hatta Wafat, Berselisih dengan Presiden Soekarno Semasa Hidup
14 Maret 1980 adalah hari wafatnya Bung Hatta sang Proklamator Republik Indonesia.
Penulis: Anggie Irfansyah
Editor: Agung Budi Santoso
Kami bertugas membawa baki yang masing-masing berisi tutup peti bendera pusaka dan kunci peti bendera pusaka dan berdiri di samping ayah masing-masing.
Kemudian Wakil Presiden membuka kain penutup peti dan meletakkannya di atas baki saya. Selanjutnya Presiden membuka peti dari kunci yang diambil dari baki Megawati.
Berikutnya, bendera diserahterimakan kepada penerima bendera, yang pada pemerintahan Orde Baru sekarang dikenal dengan istilah Paskibraka, untuk dikibarkan di sepanjang hari itu.
Pada penurunan bendera pusaka di sore harinya, kami mengulangi kembali tugas tersebut.
Seingat saya, partisipasi saya dalam acara ini berlangsung selama tiga tahun, ketika berusia 7 - 9 tahun.

Keterlibatan Megawati dan saya dalam upacara itu bersifat resmi, dan diperlukan adanya gladi resik yang cukup intensif selama beberapa hari.
Maka kalau diurut dari awal tradisi penaikan dan penurunan bendera pusaka sejak tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 1988 ini, tidak salah kiranya kalau saya merasa bahwa saya adalah anggota termuda yang pernah berpartisipasi dalam upacara penaikan dan penurunan bendera pusaka Sang Merah Putih.
Pernah tak diundang ke istana
Ketika Bung Hatta tidak lagi menjadi Wakil Presiden RI, beliau sepenuhnya memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk tampil sendiri dalam arena politik dan pemerintahan.
Hal ini juga berarti bahwa beliau tidak ingin tampil dalam acara-acara bersama dengan Bung Karno, khususnya di mana peranannya hanya bersifat pasif atau hanya sebagai salah satu dari hadirin.
Oleh karena itu, sejak 17 Agustus 1957 hingga tahun 1968, beliau tidak lagi muncul di Istana Merdeka pada upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Meskipun dalam hal-hal tertentu, sikap Bung Hatta itu memudahkan protokoler istana, namun ada pula masa di mana terdapat kekeliruan administrasi, yaitu beliau memang tidak diundang oleh pihak istana pada peringatan hari bersejarah yang melibatkan namanya.
Kekeliruan ini kemudian diperbaiki, sehingga sesudah tahun 1968 beliau kembali mendapat undangan.
Bung Hatta sedapat mungkin menyempatkan diri hadir di istana, kecuali apabila kesehatan beliau tidak mengizinkan.
Ibu tentu saja mendampingi beliau. Bila ayah tidak hadir, ibu dan salah seorang anak menjadi wakil beliau untuk hadir, meskipun kami setiap tahun selalu hadir karena mendapat undangan tersendiri sebagai putra-putri proklamator Bung Hatta.