Supaya persoalan tersebut tak berlarut-larut, Citra menyarankan supaya aparat penegak hukum melakukan kegiatan bimbingan teknis (bintek) yang diberikan kepada para penyidiknya.
Bintek dilakukan secara menyeluruh berkaitan dengan perempuan dan anak agar penyidik memiliki perspektif soal gender.
Selain itu, aktif berdiskusi dengan pendamping korban.
Kemudian mengimplementasikan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru satu tahun disahkan sehingga implementasi di lapangan belum maksimal.
"Kami sempat diskusi sama penyidik pada penanganan kasus kekerasan seksual agar memasukan UU TPKS tetapi dari penyidik menyatakan belum bisa karena belum ada aturan turunan yang mengatur kekerasan seksual di bagian penyidik," bebernya.
Kepada pemerintah daerah, kata Citra, hendaknya segera menyusun aturan turunan UU TPKS.
Meskipun saat ini pemerintah pusat sedang menyusun aturan itu melalui Perpres.
"Pemerintah hendaknya memastikan apakah korban kekerasan seksual anak sudah terpenuhi hak pendidikannya dan hak-haknya sebagai manusia yang berhadapan dengan hukum," terangnya.
Terpisah, Wali kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, program perlindungan anak sudah ada di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak dibawahi DP3A Kota Semarang .
UPTD tersebut dibentuk pada 11 Desember 2022 sebagai upaya pengimplementasian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"(penyusunan turunan UU TPKS) makanya ada lewat UPTD, kami juga persilahkan LBH APIK dan LRC-KJHAM untuk suport dan kolaborasi," katanya.
(TribunJateng.com/iwan Arifianto).
Diolah dari artikel kompas.com dan TribunJateng.com