Kondisi korban kian parah lantaran dari pihak sekolah sempat mengintimidasi korban agar jangan melaporkan kasus itu ke polisi.
Namun, keluarga korban kukuh membawa kasus itu ke ranah hukum.
"Kasus itu masih proses hukum, kami tak puas dengan tuntutan Jaksa 8 tahun. Kami meminta dituntut sesuai undang-undang perlindungan anak yakni tuntutan 15 tahun," bebernya.
LRC-KJHAM mencatat kasus korban kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2021 ada 11 kasus.
Tahun 2022 ada 53 kasus sedangkan di tahun ini hingga bulan Juni terdapat 9 kasus.
"Kota Semarang cukup banyak kekerasan seksual korban anak," imbuh Citra.
Ia menyebut, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban anak masih mendapatkan kendala di antaranya stigma dan steoreotip dari aparat penegak hukum.
Terutama ketika ada relasi hubungan pacaran maka kekerasan seksual dianggap suka sama suka.
Padahal kekerasan seksual tersebut terjadi melalui ancaman, kekerasan fisik, manipulasi hingga buaian berkedok agama.
"Dari segi aparat penegak hukum belum memperhatikan latar belakang kasus sehingga ketika dibawa ke jalur hukum korban malah semakin trauma," terangnya.
Di samping itu, akses pendidikan korban juga terancam.
Sebab, seringkali korban kehilangan akses pendidikan lantaran diminta mengundurkan diri dari sekolah.
Cara tersebut digunakan sekolah untuk mendepak korban secara halus.
Catatan LRC-KJHAM, tahun ini ada satu korban diminta mengundurkan diri dari sekolah sedangkan tahun 2022 ada tiga korban yang terpaksa keluar dari sekolah.
"Adapula guru-guru yang menyalahkan korban dan meminta damai dengan pelaku," katanya.