TRIBUNSTYLE.COM - Herd immunity dianggap dapat dilakukan untuk hadapi corona tuai kecaman, peneliti mengungkapkan hanya bisa dilakukan dengan vaksinasi.
Herd Immunity baru-baru ini menjadi perbincangan publik.
Dilansir dari Healthline, herd immunity ketika banyak orang dalam sebuah jumlah yag besar menjadi kebal terhadap penyakit yang menular, sehingga dapat menghentikan penyebaran penyakit.
Beberapa ilmuan meyakini bahwa satu-satunya jalan keluar dari pandemi virus corona ini adalah melalui herd immunity.
Dilansir dari Kompas.com, hal ini masih belum diketahui dengan jelas, WHO menuturkan bila herd immunity bukan menjadi pilihan yang bagus.
Sebagian besar ilmuan di penjuru dunia meyakini herd immunity dapat terjadi bila jumlah populasi masyarakat yang terinfeksi sekitar 65 hingga 75 persen.
• Viral Istilah Herd Immunity dan New Normal Terkait Covid-19, Apa Perbedaannya? Simak Penjelasan Ini
• Kata Jusuf Kalla soal Opsi Herd Immunity untuk Atasi Corona, Beri Peringatan agar Tak Coba-coba
Namun kenyataannya, di negara Perancis yang telah melonggarkan pembatasan sosial, hanya 4,4 persen populasi yang terinfeksi virus corona.
Tentunya ini masih dibawah angka yang dibutuhkan untuk mendorong terjadinya herd immunity.
Lebih lanjut, para ilmuan memberi peringatan apabila vaksin atau pengobatan efektif untuk corona belum tersedia sampai beberapa waktu mendatang.
Kemungkinan vaksin baru tersedia pada setahun mendatang atau bahkan lebih.
Selain Perancis, beberapa negara lain juga mulai memberi kelonggaran terhadap pembatasan sosial.
Dengan pemberlakuan ini, juga membuat angka kasus terinfeksi virus corona makin melesat.
Namun di beberapa negara yang masih melakukan pembatasan sosial hingga lockdown, membuat angka kasus terinfeksi virus corona menjadi lebih menurun.
Menurut Mike Ryan yakni Direkur eksekutif darurat kesehatan WHO, upaya beberapa negara yang melonggarkan pembatasan sosial untuk menjadikan herd immunity terbentuk adalah langkah yang sangat berbahaya.
Untuk saat ini, para ahli masih menyarankan untuk selalu memonitor virus melalui pengujian luar dan pelacakan kontak.
Selain itu, para ahli merekomendasikan untuk mengisolasi orang-orang yang terinfeksi virus corona sampai dinyatakan sembuh, bukan melakukan pembiaran.
Seorang ahli epidemiologi WHO menuturkan bila orang-orang yang telah diuji dan memiliki antibodi kuat hanya sedikit.
Para ahli mengungkapkan bila dunia harus masih terus merencanakan untuk menghadapi virus corona dalam dua tahun mendatang sampai ditemukan vaksin.
WHO Sebut Bahaya Herd Immunity
Alih-alih mendukung kepercayaan bahwa herd immunity bisa jadi alternatif pencegah corona, WHO justru mengingatkan bahayanya jika hal itu diterapkan.
Menurut WHO, konsep ini justru berbahaya jika diterapkan pada manusia.
Direktur eksekutif program darurat kesehatan WHO, Mike Ryan, menegaskan bahwa manusia bukanlah kawanan ternak.
"Ini adalah penyakit serius. Ini adalah musuh publik nomor satu. Kami mengatakannya lagi, lagi, dan lagi," kata Dr Ryan diberitakan The Telegraph, Selasa (12/5/2020).
Sementara itu, epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan bahwa strategi herd immunity berbahaya jika diterapkan.
Dicky menjelaskan bahwa herd immunity lebih tepat disebut sebagai kondisi ketika sudah ditemukannya vaksin.
Sebaliknya, jika vaksin belum ditemukan, maka istilah tersebut menurutnya kurang pas untuk dikaitkan dengan pandemi Covid-19.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pendekatan herd immunity sebelum ada vaksin justru sangat berbahaya jika diterapkan.
"Karena ini bukan penyakit flu biasa," pungkas Dicky.
Apakah Indonesia akan Terapkan Herd Immunity?
Timbul spekulasi di masyarakat mengenai pemerintah yang akan menempuh langkah herd immunity.
Menjawab hal tersebut, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan pemerintah tidak akan menggunakan strategi itu.
"Pertanyaannya apakah kita pakai itu? Jawabannya tidak," ujar Yuri seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
Perbedaan Herd Immunity dan New Normal
Setelah herd immunity, muncul istilah baru yang tak kalah viral, yakni new normal.
Ini adalah konsep pola hidup normal baru yang diimbau oleh WHO untuk mengatasi virus corona.
Dalam unggahan melalui Twitter-nya, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyebutkan sejumlah hal yang harus diperhatikan pemerintah suatu wilayah atau negara untuk melonggarkan pembatasan terkait pandemi Covid-19.
Salah satunya adalah mendidik, melibatkan, dan memberdayakan masyarakatnya untuk hidup di bawah new normal.
Perihal new normal atau tatanan kehidupan baru ini juga disampaikan oleh Presiden Jokowi.
Sebelumnya, Jokowi menggunakan istilah 'berdamai dengan Covid-19'.
"Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan," katanya di Istana Merdeka, Jakarta, dalam video yang diunggah Sekretariat Presiden pada Kamis (7/5/2020).
Lantas pada Jumat (15/5/2020), Jokowi menyamakan perihal berdamai dengan Covid-19 dengan istilah new normal.
"Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru," kata Presiden.
(TribunStyle.com/TsaniaF/Gigih Panggayuh)
• VIRUS CORONA Asalnya dari Kelelawar atau Kebocoran Laboratorium Wuhan? Teka-teki Akhirnya Terjawab
• 4 Cara Beradaptasi Dengan Kebiasaan Baru atau New Normal Akibat Pandemi Virus Corona