TRIBUNSTYLE.COM - Penjelasan tepat seputar virus corona atau Covid-19 yang bisa mati jika terkena terik matahari, simak jawaban dari spesialis mikrobiologi, dr Rebriarina Hapsari MSc SpMK.
Merebaknya virus corona di berbagai belahan dunia, menjadikan WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global.
Khususnya di Indonesia sendiri, virus ini juga telah ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pihak pemerintah terkait.
Lantaran kasus yang positif terus meningkat, menjadikan pihak pemerintah memberikan kebijakan untuk social distancing, menjaga kesehatan, dan selalu waspada akan wabah ini.
Di tengah pandemi virus ini, santer terdengar kabar mengenai mitos yang telah beredar di masyarakat luas yakni virus corona bisa mati jika terpapar terik matahari.
Hal itulah yang harus diluruskan dengan baik dan tepat dari penjelasan seseorang yang ahli di bidangnya.
• Pandemi Virus Corona, Olimpiade Tokyo 2020 Ditunda, Jepang Terancam Rugi Triliunan Rupiah
• UNBK 2020 Resmi Ditiadakan karena Pandemi Corona, Berikut Beragam Reaksi yang Jadi Trending
Berikut penjelasan yang diutarakan oleh Spesialis Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dr Rebriarina Hapsari, MSc, SpMK untuk menjawab pertanyaan di atas.
Hal itu diketahui dari kanal YouTube Ganjar Pranowo yang berjudul 'Efektifkah Penyemprotan untuk Tangkal Corona?' pada Selasa (24/3/2020).
Sebelum sang dokter menjawab, Ganjar terlebih dahulu melontarkan pertanyaan kepada Rebriarina Hapsari.
"Sebenarnya di bawah terik matahari, seperti tempat kita di Indonesia, Jawa Tengah ini kan panas,
Itu bisa membunuh si virus pada suhu berapa ya sebenarnya?," tanya Ganjar.
Kemudian dijawab oleh sang ahli, bahwa hingga saat ini belum ada publikasi yang menyebutkan bahwa virus corona atau COVID-19), dapat mati di bawah terik matahari.
"Untuk yang Sar Covid-2 penyebab Covid-19 ini saya belum melihat adanya publikasi tentang hal tersebut,
Akan tetapi untuk temannya coronavirus yang lain, di atas suhu 56 derajat tidak bisa dideteksi lagi setelah 24 jam. Tapi bisa berbeda coronavirus dan COVID-19,” terang Dokter Rebriarina menjawab Gubernur Jawa Tengah.
Karena menurut wanita spesialis mikrobiologi ini, bagian luar dari virus corona itu tak ada lapisan lemak, sehingga lebih tidak tahan terhadap pemanasan.
Selain mitos virus corona bisa mati karena terik matahari, tak sedikit masyarakat yang berusaha mencegah penularan virus itu dengan mencuci tangan menggunakan sabun.
Karenanya, virus Covid-19 dinilai tidak tahan dengan sabun dan bisa langsung mati apabila terpapar senyawa tersebut.
“Sabun tidak efektif 100 persen, karena harus memiliki waktu kontak yang cukup.
Tapi ada minimal waktu kontak dengan bahan aktif yang ada dalam sabun atau hand sanitizer.
Kalau berdosis alkohol harus 20 detik, kalau air sabun sekiranya minimal 40 detik,” pungkas dr Rebriarina.
Pembahasan dalam kanal YouTube Gubernur Jateng ini juga menyangkut penyemprotan disinfektan di tempat umum dan alasan anak sekolah diliburkan selama 14 hari. (TribunStyle.com/Heradhyta Amalia)
Bayi dan Anak-anak Jarang Terkena Virus Corona
Di Indonesia, pasien virus corona terus bertambah dari hari ke hari.
Hingga Senin (23/3/2020) jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia berjumlah 579 kasus.
Ada 48 pasien virus corona dinyatakan meninggal dunia.
Jumlah tersebut disinyalir akan terus meningkat.
Sebagian dari kasus tersebut ternyata juga ada yang menimpa bayi.
Namun kasus Covid-19 pada bayi dan anak-anak tergolong rendah dibandingkan dengan orang dewasa dan lansia.
Sebelum virus ini sampai ke Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang sudah meneliti bila wabah ini akan jarang menyerang bayi dan anak-anak.
Mengapa demikian?
Mengutip dari NewYorkTimes, sebagian besar pengidap virus corona ternyata berusia 45-56 tahun.
Usia tersebut dianggap merupakan usia yang memiliki risiko tinggi terinfeksi virus corona.
Sementara itu kasus infeksi Covid-19 jarang ditemukan pada bayi dan anak-anak.
Dalam laporan yang ditulis New York Times beberapa waktu lalu, Dr Malik Peiris mengungkap bila bayi dan anak tetap bisa terinfeksi, namun risikonya sangat rendah.
"Dugaan saya adalah orang yang lebih muda tetap bisa terinfeksi, tetapi mereka mendapatkan risiko yang relatif lebih ringan,” kata Dr Malik Peiris, Kepala Virologi di Universitas Hong Kong, yang telah mengembangkan tes diagnostik untuk virus corona.
Dilansir oleh Tribun Jogja, beberapa waktu lalu insiden virus corona menjangkit satu keluarga yang bepergian ke Wuhan, China.
Salah satu anggota keluarganya berusia 10 tahun.
Sekembalinya ke Shenzhen, anggota keluarga lain terinfeksi.
Usianya beragam, sekitar 36 hingga 66 tahun.
Mereka menderita demam, sakit tenggorokan, diare, dan radang paru-paru.
Sementara itu, anak yang berusia 10 tahun itu juga memiliki tanda-tanda pneumonia di paru-paru, tetapi tidak ada gejala di luar.
Beberapa ilmuwan menduga bahwa ini merupakan tipikal infeksi virus corona pada anak-anak.
"Memang benar bahwa anak-anak dapat terinfeksi tanpa gejala atau memiliki infeksi yang sangat ringan," kata Dr Raina MacIntyre, seorang ahli epidemiologi di Universitas New South Wales di Sydney, Australia, yang telah mempelajari penyebaran virus corona.
Sama dengan kasus SARS dan MERS yang juga sempat mewabah, gejala pada anak-anak hanya ditunjukkan secara ringan.
Anak-anak di bawah usia 12 tahun memiliki kemungkinan lebih kecil untuk dirawat di rumah sakit atau membutuhkan oksigen atau perawatan lain.
Para peneliti menemukan anak-anak di atas usia 12 memiliki gejala seperti orang dewasa.
“Kami tidak sepenuhnya memahami alasan peningkatan keparahan terkait usia ini. Tapi kami melihat itu sekarang dan dengan SARS, Anda bisa melihatnya lebih jelas,” kata Dr. Peiris.
Bukan hal yang aneh jika virus hanya memicu infeksi ringan pada anak-anak dan penyakit yang jauh lebih parah pada orang dewasa.
Cacar air, misalnya, sebagian besar tidak penting pada anak-anak, namun sangat berbahaya pada orang dewasa.
(Nakita/Cynthia Paramitha Trisnanda)(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Farid)
Sebagian artikel ini telah tayang di tribunbatam.id dengan judul Mengapa Virus Corona Jarang Menyerang Bayi dan Anak-anak? Ini Penjelasan WHO,