Provinsi Xinjiang China Larang Nama Muslim pada Bayi, Alasannya Bikin Beresiko Terjadi Ekstremisme
Ini adalah sebuah langkah yang akan mencegah anak mendapatkan akses terhadap pendidikan dan keuntungan pemerintah.
Penulis: Mohammad Rifan Aditya
Editor: Desi Kris
Laporan Wartawan TribunStyle.com, Rifan Aditya
TRIBUNSTYLE.COM - Sebuah kelompok hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW), pada tanggal 25 April 2017, melaporkan bahwa China telah melarang puluhan nama Islam seperti "Saddam" dan "Jihad" untuk bayi-bayi di Provinsi Xinjiang.
Sebagaimana diberitakan oleh Wittyfeed (25/4/2017) warga muslim di provinsi yang berpenduduk mayoritas Islam ini telah dilarang memberi nama anaknya dengan nama Muslim.
Ini adalah sebuah langkah yang akan mencegah anak mendapatkan akses terhadap pendidikan dan keuntungan pemerintah.
Dengan dalih mengendalikan "semangat religius yang melebih-lebihkan", pihak berwenang di Xinjiang baru-baru ini "melarang lusinan nama dengan konotasi keagamaan yang umum terjadi pada umat Islam di seluruh dunia", kata HRW.
• Luar Biasa! Pria Ini Habiskan Waktu Seharian Bersihkan Nisan Para Veteran, Hasilnya Bikin Melongo!
Kabar ini membangkitkan rasa ingin tahu.
Mengapa sebuah negara menargetkan satu komunitas tertentu?
Apakah pendekatan ini diadopsi oleh pemerintah China yang dianjurkan untuk menjaga perdamaian di Provinsi Xinjiang yang bergolak?
Apakah langkah tersebut akan mengatasi masalah terorisme Uyghur yang menghantui China?
Mengutip seorang Pejabat Polisi yang tidak disebutkan namanya, Radio Free Asia (RFA) melaporkan, "Nama-nama dengan makna keagamaan yang kuat seperti Islam, Muhammad, Alquran, Mekkah, Imam, Saddam, Haji, dan Medina, serta nama-nama yang memiliki "konotasi perang suci (Jihad)" termasuk dalam daftar.
Nama-nama ini dilarang di bawah peraturan "Penamaan Partai Komunis untuk Etnis Minoritas".
Partai Komunis China, RFA melaporkan, mengutip pejabat tersebut.
Menurut larangan tersebut, anak-anak dengan nama terlarang tidak akan bisa mendapatkan "hukou" atau pendaftaran rumah tangga, yang penting untuk mengakses sekolah umum dan layanan sosial lainnya.
Apa konteks larangan itu?