TRIBUNSTYLE.COM - Sosok cucu dari Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Hatta, Gustika Jusuf-Hatta ramai jadi sorotan publik belakangan ini.
Hal itu lantaran Gustika Jusuf-Hatta menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintah.
Kritikan tersebut disampaikan Gustika Jusuf-Hatta dalam peringatan HUT ke-80 RI yang digelar di Istana Merdeka, Jakarta.
Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya pada Minggu (17/8/2025), Gustika menyentil luka sejarah pelanggaran HAM di Indonesia.
Bahkan, ia juga menyindir Presiden dan Wakil Presiden RI saat ini.
Ia menyentil Presiden saat ini sebagai "penculik dan penjahat HAM" dan menyebut wakilnya sebagai "anak haram konstitusi."
Baca juga: Gaya Kompak Keluarga Arumi Bachsin Pakai Baju Adat di HUT RI, Menang Best Costume Hadiahnya Kambing
Sontak saja postinagnnya tersebut menuai beragam komentar dari netizen. Tak sedikit netizen mendukung pernyataannya. Namun, ada juga sejumlah netizen yang menyindir sikapnya tersebut. Alih-alih menciut, Gustika justru menanggapi sejumlah komentar netizen dengan jawaban yang tak kalah menohok. < data gtm-vis-recent-on-screen2485677_2232="3704" data-gtm-vis-first-on-screen2485677_2232="3704" data-gtm-vis-total-visible-time2485677_2232="100" data-gtm-vis-has-fired2485677_2232="1">Seperti saat dirinya ditanyai oleh netizen tentang kegiatannya, ia kemudian menceritakan kesehariannya sama seperti kebanyakan orang.
"Kakeknya pahlawan, cucunya ngapain? Serius bertanya dengan nada sopan dan lemah lembut..." tanya seorang netizen.
"Kerja kantoran, jadi karyawati. Cari lowongan, bikin CV, bikin cover letter, ngelamar, interview, ngekos, ngojol ke kantor, pulang nonton Netflix.
Dapet gaji, bayar pajak sebagai warga negara Indonesia. Jajan-jajan, kasih makan kucing (tapi bersihin tainya males), main boardgame, checkout Shopee, beli es kopi, kena PPN 10 persen," tulis Gustika.
"Ya..melangsungkan hidup aja tanpa dicariin kerjaan sama emak-bapak gua.
Sesuai lah dengan cita-cita para pahlawan ketika memperjuangkan Republik (bukan dinasti kayak...(isi sendiri)), bahwa anak-cucunya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, tidak seperti zaman kolonialisme ketika priboemi tidak punya pilihan.
Ga ada pressure untuk masuk politik atau apa, kalau kata mak gua dari dulu yang penting pilihan hidup ga merugikan masyarakat.
Kalau kata nenek gua yang dari nyokap yang penting happy. Jadi gitu-gitu aja.
Ga punya tambang di hutan adat (my own contribution to society), ga punya duit juga buat beli tanah kosong buat jadiin lapangan padel. Gimana menjawab ga? (nanya dengan nada ngegas)," imbuhnya.