Bahkan teman satu kelasnya ada yang meninggal dunia, atas nama Nur Azizah.
Pascakejadian itu, keluarga terus menenangkan hati Annisa. Mereka pun tak lagi menanyai Annisa tentang kejadian itu.
Annisa akan marah dan melarang keluarga atau kerabatnya untuk bertanya tentang kejadian kemarin.
"Sekarang dia juga takut kalau lihat air, kalau di kamar mandi sendiri jadi takut," bebernya.
Rasa trauma juga dialami oleh Mahfud Atorik (13) pelajar kelas 7 SMPN 1 Turi. Ibunya, Ponirah (47) menuturkan, kini anaknya tidak mau menceritakan kejadian itu lagi ke siapa pun.
Kejadian buruk itu telah tertanam di benak anak-anak dan mereka ingin melupakannya.
"Anak saya masih grogi, enggak mau sendiri. Dia cari kesibukan biar tidak teringat. Sekarang jadi sering ke tempat temannya, saya izinkan agar hatinya juga tenang," ujarnya.
Sebagai seorang ibu, Ponirah tentu saja tak ingin anaknya mengalami trauma.
Ia pun mengapresiasi banyak pihak yang mau membantu menghilangkan trauma para siswa.
Sementara itu, Ketua Ikatan Psikologi Klinis Wilayah DIY, Siti Urbayatun mengatakan, kejadian yang dialami akhir pekan sangat massif.
"Kita membutuhkan dukungan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang kondusif. Universitas di Yogyakarta yang memiliki fakultas psikologi kami minta bantuan, organisasi masyarakat juga banyak yang membantu," ujarnya.
Saat ini dibuka dua posko untuk penanganan psikis siswa pascamusibah, yaitu di Puskesmas Turi dan SMPN 1 Turi.
Tim psikologi telah berjaga mulai Jumat hingga Senin pagi ini selama 24 jam untuk melakukan pendampingan psikologi.
"Kemungkinan sampai seminggu ke depan kami stand by di dua posko. Jika diperlukan kami juga melakukan home visit," ungkap Siti.
Hingga saat ini ada enam siswa yang mengalami gejala gangguan psikologis.