Beti memang menanam ubi yang diandalkannya jika tak mampu membeli beras.
Jarak rumah hingga ke sekolahnya pun mencapai 3 kilometer dan Beti menempuhnya dengan berjalan kaki.
Tak hanya itu, dirinya juga harus berjuang terisolasi dari listrik dan telepon.
"Di rumah kami pakai lampu pelita.”
“Kalau malam kerja perangkat pembelajaran, kami andalkan lampu pelita saja.”
“Susah sekali sebenarnya, tetapi karena sudah terbiasa, jadinya nyaman juga.”
“Untuk yang punya hanphone itu harus pergi cas di orang yang ada mesin generator," tutur Beti.
Sinyal pun hanya bisa didapat bila berjalan kaki sejauh 3 kilometer lagi.
Dengan gaji seadanya, Beti tinggal di rumah sederhana dengan alas tikar belahan bambu.
Meski harus hidup dengan segala keterbatasan, Beti mengaku tetap semangat mengajar di sekolah tersebut.
"Capek sebenarnya, tetapi berpikir, pasti ada hikmah di balik perjuangan ini," ungkap Beti.
Ia berharap, ke depan pemerintah bisa menyambung jaringan listrik dan telepon ke Desa Watu Diran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, alamat SMPN 3 Waigete.
Pantauan Kompas.com, Beti tinggal di rumah yang sangat sederhana, beratapkan alang-alang, dinding belahan bambu, dan lantai tanah.
Kamar istirahatnya juga sangat sederhana. Hanya beralaskan tikar di atas belahan bambu. Pakayan digantung tanpa lemari. Begitu pula dengan buku-buku.
Alat masak ibu Beti juga masih menggunakan tungku tradisonal dari batu. Untuk memasak, ia menggunakan kayu api yang didapatkan dari kebun.