Ingat, Butir Ketiga Sumpah Pemuda Bukan 'Berbahasa Satu', Tapi 'Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan'
Jangan salah, butir ketiga isi teks Sumpah Pemuda bukan 'berbahasa satu', melainkan 'menjunjung tinggi bahasa persatuan'. Simak sejarahnya.
Penulis: Gigih Panggayuh Utomo
Editor: Ika Putri Bramasti
Sebagai seorang sastrawan dan penyair, salah satu cara yang diyakini Yamin dapat menjadi 'alat' pemersatu bangsa adalah bahasa.
Gagasan ini pun diucapkan lantang dalam Kongres Pemuda I, Yamin menyodorkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Bahasa Melayu Diganti Menjadi Bahasa Indonesia
Awalnya, bahasa yang hendak dipakai untuk memersatukan bangsa Indonesia adalah bahasa Melayu.
Namun, mufakat soal bahasa tersebut tidak muncul lewat diskusi yang adem ayem.
Mengutip artikel yang ditulis Maryanto dan diterbitkan oleh situs resmi Badan Bahasa, ada satu sosok penting bernama Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, atau sering disebut sebagai M Tabrani.
Tabrani, seorang wartawan Madura dan aktivis Jong Java, adalah Ketua Panitia Kongres Pemuda I.
Dalam tulisan itu, Yamin disebutkan sempat 'naik pitam' karena Tabrani menyetujui seluruh pidato Yamin.
Akan tetapi, ia menolak usulan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu.
Tabrani berpandangan, bila bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, maka bahasa Melayu bakal terkesan sebagai bahasa imperialisme terhadap bahasa daerah lainnya di Indonesia.
Karena Tabrani tidak setuju, maka putusan Kongres Pemuda I itu tidak menjadi putusan final.
Atas perbedaan pendapat antara Yamin dan Tabrani tersebut, keputusan terakhir ditunda sampai Kongres Pemuda II pada 1928.
Pesan Kongres Pemuda I dititipkan kepada M. Yamin dengan catatan penting bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia.
Terbukti, Yamin selaku penulis dalam Kongres Pemuda Kedua menunaikan tugasnya dengan baik.
Berikut ini bunyi tiga putusan Kongres Pemuda II, sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda.