Tokoh Viral Hari Ini
Mengenang Umbu Landu Paranggi Lewat Barisan Sajaknya, Ini 5 Puisi Karya Sang Presiden Malioboro
Mengenang Umbu Landu Paranggi lewat sajak-sajaknya, ini 5 puisi karya penyair berjuluk Presiden Malioboro.
Penulis: Gigih Panggayuh Utomo
Editor: Ika Putri Bramasti
Reporter: Gigih Panggayuh
TRIBUNSTYLE.COM - Mengenang Umbu Landu Paranggi lewat sajak-sajaknya, ini 5 puisi karya penyair berjuluk Presiden Malioboro.
Dunia sastra Tanah Air kehilangan salah satu sosok penyair hebat, Umbu Landu Paranggi dikabarkan meninggal pada Selasa (6/4/2021).
Sang sastrawan mengembuskan napas terakhirnya di Bali, pada pukul 03.55 WITA.
Sederet ungkapan belasungkawa dari para sastrawan dan warganet mengalir di media sosial.
Sejumlah kata-kata seperti 'Presiden Malioboro' hingga '#MaiyahBerduka' menempati trending di Twitter pada Selasa (6/4/2021).
Sebagai informasi, Umbu Landu Paranggi terkenal dengan julukannya, yakni Presiden Malioboro.
Baca juga: Mengenang Umbu Landu Paranggi, Penyair Sumba Berjuluk Presiden Malioboro, Meninggal di Usia 77 Tahun
Baca juga: 5 Puisi tentang Ibu Karya Penyair Terkenal Indonesia, dari Chairil Anwar hingga Joko Pinurbo
 
Umbu Landu Paranggi juga dikenal sebagai sosok guru bagi penyair kondang seperti Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, Korrie Layun Rampan, hingga Eko Tunas.
Lewat klub sastra yang ia dirikan, lahir banyak sekali sastrawan besar Indonesia.
Ia sendiri, telah banyak melahirkan karya-karya berupa sajak.
Dirangkum dari berbagai sumber, inilah 5 puisi karya Umbu Landu Paranggi.
Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
Sumber: Tonggak 3: Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987.
Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.
Melodia
cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Sumber: “Persada Studi Klub dan Sajak-sajak Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.
 
Aide Memoire
bukalah jendela, di luar angin
menyiapkan pelaminan kemarau
sebelum burung-burung dan daunan
luput dari nyalang pandang dukaku
catatan-catatan mengubur segala kecewa
upacara kecil hari-hari kelampauanku
bukalah kerudung jiwa di sini
gemakan kenangan pengembaraan sunyi
jauh atau dekat, dari ruang ini
sebelum sayap-sayap derita dan kerja
pergi berlaga mendarahi bumi
dan dengan gemas menyerbu kaki langit itu
di mana mengkristal rindu dendamku abadi
Sumber: Tonggak 3: Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987.
Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, 12 April 1970.
Sajak Dalam Angin
Sebelum sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
Sumber: Tonggak 3: Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240-241).
Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, Minggu, 26 April 1970.
Kuda Merah
kuda merah musim buru,
berapa kemarau panjang maumu
jantung yang akan terbakar hangus,
satu cambuk api lagi
peluki padang anak angin
dan batu gunungku purba
melulur bayang-bayang di pasir waktu :
rahasia cinta
(TribunStyle.com/Gigih Panggayuh)
 
							 
                 
											 
											 
											 
											