Viral Hari Ini
5 Kasus Kebiri Kimia di Dunia dari Ahli Matematika hingga Tukang Las, Efek Kebiri Kimia Menurut Ahli
Hukuman kebiri kimia kembali menjadi perbincangan setelah seorang pemuda asal Mojokerto, Jawa Timur, bernama Muh Aris (20) mendapatkan hukuman kebiri
Penulis: Anggia Desty
Editor: Mohammad Rifan Aditya
Tahun 2017, angka resmi menunjukan 320 kasus pemerkosaan anak di Ukraina tetapi jumlah kasus pelecehan seks pedofil diyakini mencapai ribuan.
Kepala polisi nasional Vyacheslav Abroskin mengatakan pada Juli lalu lima anak diperkosa di empat wilayah Ukraina hanya dalam kurun waktu 24 jam.
"Dan ini adalah kejahatan yang dilaporkan orang tua kepada polisi meskipun mereka takut dan cemas untuk melaporkannya."
"Kita hanya bisa menebak berapa banyak kejahatan seksual laten terhadap anak-anak yang terjadi di negara ini."
Kasus mengerikan yang baru-baru ini terjadi, Daria Lukyanenko berusia 11 tahun berasal dari wilayah Odessa, dibunuh setelah dia melawan upaya pemerkosaan oleh keluarga teman Nikolay Tarasov (22).
Tubuhnya ditemukan setelah enam hari pencarian di kolam pembuangan desa.
Pria itu ditahan dengan tuduhan percobaan perkosaan dan pembunuhan.
Dibawah undang-undang baru, Ukraina juga akan mengatur daftar publik paedofil yang dipenjara karena pemerkosaan anak dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Penjahat seperti itu akan dipantau seumur hidup oleh polisi setelah dibebaskan dari penjara. Masa hukuman penjara untuk kasus pemerkosaan terhadap anak juga ditingkatkan dari 12 tahun menjadi 15 tahun.
Parlemen Ukraina akhirnya mengesahkan aturan hukum untuk kejahatan seks melibatkan anak-anak.

Tujuan kebiri kimia adalah untuk mengurangi produksi hormon testosteron. Efek akhirnya sama seperti kebiri fisik.
Dilansir dari kompas.com, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Wimpie Pangkahila mengatakan, kebiri kimia asalnya dari kata obat yang bersifat anti hormon testosteron.
Melalui obat ini, pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksual sehingga tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukannya.
Meski demikian, dorongan seksual ini sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron.
Ada faktor lain yang mendorongnya, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan, dan faktor psikologis soal fungsi seksual.
Oleh karena itu, meski diberikan obat anti testosteron, keinginan melakukan hubungan seksual belum tentu akan hilang sama sekali.
"Testosteron adalah hormon dalam tubuh kita yang antara lain berfungsi pada sekualitas. Pada pria hormon ini bisa membangkitkan libido. Jadi kalau hormonnya dikurangi, maka gairah seks akan berkurang," ujar Wimpie dalam wawancaranya dengan Kompas.
Ia memaparkan, pemberian obat antitestosteron menimbulkan efek samping antara lain kekuatan otot menurun, osteoporosis, anemia, lemak meningkat, dan penurunan fungsi kognitif.
Dari sejumlah efek samping di atas bisa memunculkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Kebiri kimiawi juga bisa membuat pria mengalami infertilitas atau ketidaksuburan.
Pria yang diberikan obat antiandrogen berpotensi mengalami kemandulan karena kemungkinan tidak memiliki sel spermatozoa.
Efek dari obat antitestosteron juga bersifat sementara, gairah seksual bisa kembali muncul bila pemberian obat tersebut dihentikan.
Pro kontra hukuman kebiri Saat masih menjadi wacana, hingga keluarnya Perppu Kebiri dan disahkan DPR menjadi UU, hukuman kebiri kimia menimbulkan pro dan kontra.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan sikap menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia.
Pada Juli 2016, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan, kebiri kimiawi sebaiknya dilakukan dalam perspektif rehabilitasi.
IDI berpandangan, bila tujuan untuk rehabilitasi, hasilnya akan lebih efektif.
Kebiri kimia dianggap belum tentu menyembuhkan predator seksual dari kelainan yang dideritanya.
"Dan jika kebiri kimiawi dilakukan dalam perspektif rehabilitasi, kami dari IDI dengan sukarela jadi eksekutornya," kata Daeng, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
IDI berpendapat, menjadikan kebiri sebagai hukuman berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku. Pada jumpa pers, 9 Juni 2016, Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Mekanisme pemberian hukuman kebiri dilakukan melalui suntikan kimia bersamaan dengan proses rehabilitasi.
Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko mengatakan proses rehabilitasi untuk menjaga pelaku tidak mengalami efek negatif lain selain penurunan libido.
Suntikan kimia juga tidak bersifat permanen dan efeknya hanya muncul selama tiga bulan.
Pelaku akan mendapatkan suntikan kimia secara berkala melalui pengawasan ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.
(Tribunstyle.com/Anggia)