Ini Sejarah dan Asal-usul Baju Beskap yang Sering Dipakai Oleh Didi Kempot Saat Manggung
Ini sejarah dan asal-usul baju beskap yang sering dipakai oleh Didi Kempot, adaptasi dari baju barat.
Penulis: Dhimas Yanuar Nur Rochmat
Editor: Desi Kris
Ini sejarah dan asal-usul baju beskap yang sering dipakai oleh Didi Kempot, adaptasi dari baju barat.
TRIBUNSTYLE.COM - Tidak banyak yang menyangka ternyata baju beskap yang sering dipakai oleh Didi Kempot ini ternyata memiliki sejarah panjang.
Dan ternyata baju beskap ini juga sering terlihat dipakai oleh mempelai pria pada pernikahan adat Jawa.
Busana adat Jawa beskap merupakan salah satu model pakaian adat yang penuh filosofis kehidupan.
Busana adat Jawa yang sering disebut beskap karena busana kejawen ini penuh dengan piwulang sinandhi, kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa (Kejawen).
• Agung Hercules Meninggal, Kesedihan Netter Banjiri Linimasa Twitter, Ucapkan Belasungkawa
• GodFather of Broken Heart Didi Kempot Punya Ratusan Lagu Patah Hati, Ada 1 Lagu yang Jadi Pemicunya
• Sukses di Mancanegara, Rapper Indonesia Rich Brian Umumkan Jadwal Tur Konser Amerika

Apa itu Beskap?
Dikutip dari indonesianbatik, Pakaian adat pria ini merupakan pakaian adat gaya Surakarta.
Bentuk dari Beskap ini seperti jas yang didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan.
Warna yang lazim dari beskap biasanya hitam, walaupun warna lain seperti putih atau coklat juga tidak jarang digunakan.
Sejarah Beskap
Dikutip dari budayajawa.id, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara IV (Raja Mangkunegaran Surakarta) bermaksud hendak menghadap raja di Pesanggrahan Langenharjo.
Pesanggrahan ini terletak di Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.
Apabila menghadap raja di Keraton Surakarta, pakaian yang dikenakan adalah “sikepan”.

Sikepan adalah sejenis jas tetapi tertutup sampai bagian atas (leher), sedangkan bagian belakangnya dibuat lengkungan (krowokan).
Karena tidak menghadap raja di Keraton, pertimbangan lainnya, mestinya tidak harus memakai “sikepan”.