Piala Dunia 2018
Pussy Riot - 5 Fakta Para Wanita yang Bikin 'Onar' di Final Piala Dunia 2018, Apa Tujuan Mereka?
Pussy Riot secara garis besar menyuarakan tentang feminisme, hak LGBT dan yang utama adalah protes terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Penulis: Amirul Muttaqin
Editor: Amirul Muttaqin
TRIBUNSTYLE.COM - Partai final Piala Dunia 2018 yang digelar di Stadion Luzhniki, Minggu (15/7/2018) malam lalu meninggalkan banyak cerita.
Satu diantaranya adalah masuknya beberapa orang ke lapangan saat Prancis dan Kroasia tengah bertanding.
Ada empat orang yang yang terdiri dari pria dan wanita berlarian di lapangan sehingga pertandingan harus dihentikan sementara saat babak kedua berjalan sekitar 12 menit.
Orang-orang ini mengenakan baju polisi untuk mengelabuhi petugas keamanan.
• Tagar #RecehkanPialaDunia Viral, Ada 14 Cuitan Kocak Buat Piala Dunia: Jadi Orang Ke-3 Aja Rebutan
Meski menerobos kemanan dan secara ilegal masuk ke lapangan, orang-orang ini tidak melakukan tindakan berbahaya.
Mereka hanya berlari dan bahkan ada yang tos dengan penyerang Prancis, Kylian Mbappe.
Kemudian orang-orang ini diamankan petugas dan dibawa keluar lapangan.

Kelompok bernama Pussy Riot kemudian mengaku bertanggung jawab atas insiden ini.
Lantas siapa sebenarnya kelompok Pussy Riot?
Apa maksud mereka melakukan hal tersebut?
Ini dia lima fakta tentang kelompok Pussy Riot yang perlu kamu tahu.
1. Grup musik sekaligus aktivis

Pussy Riot ternyata adalah sebuah grup musik punk rock wanita yang berasal dari Moskow, Rusia.
Kolektif ini konsisten mengkritik pemerintah Rusia dengan menggelar aksi dan pertunjukan secara diam-diam.
Pussy Riot secara garis besar menyuarakan tentang feminisme, hak LGBT dan yang utama adalah protes terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Kolektif ini menganggap Putin sebagai diktator dengan berbagai kebijakannya.
2. Beranggotakan 3 wanita

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anggota dalam kolektif ini.
Namun ada tiga nama yang tercatat merupakan anggota dari band yang semuanya wanita.
Mereka adalah Nadezhda Tolokonnikova, Maria Alyokhina, dan Yekaterina Samutsevich
3. Pernah dipenjara

Ketiga anggota Pussy Riot pernah masuk penjara akibat aksi protesnya pada 2012.
Saat itu, kolektif ini menggelar aksi yang dinamakan “Doa Punk” untuk menentang kembalinya Putin yang kala itu menjabat perdana menteri, untuk memegang jabatan presiden.
Melansir DW.com, pengadilan Rusia memvonis penjara dua tahun ketiga anggota Pussy Riot karena menyanyikan lagu anti Presiden Putin.
Pengadilan menetapkan tiga anggota band itu bersalah karena melakukan hal yang dianggap bisa memicu kerusuhan.
4. Dukungan internasional

Mendapat tekanan dari pemerintah Rusia, respon sebaliknya justru didapatkan Pussy Riot dari pihak luar negeri.
Kolektif ini justru mendapat dukungan dari banyak pihak di dunia internasional.
Satu diantaranya datang dari Menteri Luar Negeri Jerman kala itu, Guido Westerwelle.
Westerwelle meminta Rusia agar memperhatikan kebebasan seni.
Selain itu, pemerintah Jerman juga menyampaikan kritik atas sikap Rusia terhadap kebebasan berpendapat.
5. Tujuan aksi di final Piala Dunia 2018
Tak lama setelah aksi di final Piala Dunia 2018, Pussy Riot merilis sebuah pernyataan yang berisi enam tuntutan di akun Facebook resmi mereka.
1. Bebaskan semua tahanan politik.
2. Stop memenjarakan orang hanya demi popularitas atau mendapatkan 'likes' di media sosial.
3. Hentikan penangkapan ilegal saat terjadi protes-protes politik.
4. Berikan kesempatan untuk terciptanya persaingan politik yang sehat di Rusia.
5. Jangan mengada-adakan kasus kriminal dan menempatkan orang di penjara tanpa alasan.
6. Ubahlah 'polisi duniawi' menjadi 'polisi surgawi'.
(TribunStyle.com/ Amir M)
Yuk Subscribe YouTube dan Like Fanpage TribunStyle.com di bawah ini: