Ketua LACI Nur Halimah menganggap kicauan Fahri telah melecehkan martabat para pekerja Indonesia di luar negeri. LACI, kata Nur, menuntut Fahri meminta maaf.
"Tahukah Bapak bahwa pernyataan Bapak telah merendahkan martabat dan harga diri kami, para 'pahlawan devisa' yang menyumbangkan remitansi sebesar 7,4 miliar dollar AS atau Rp 97,5 triliun untuk memutar roda perekonomian Indonesia," ujar Nur dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa malam.
Mengkritik pemerintah
Fahri mengaku tak bermaksud menyingung perasaan siapapun lewat kicauannya itu. Fahri menjelaskan, kicauannya sebetulnya tak berdiri sendiri melainkan tengah fokus mengkritik pemerintah atas situasi dan kondisi terkini. Fahri menilai, saat ini pemerintah kehilangan prioritas untuk ditangani.
"Prioritas kita ini saya tunjukan bahwa hutan kita dibabat orang, pipa-pipa baja kita disedot negeri orang. Padahal warga kita mengemis meminta kerja menjadi pakai istilah babu. Sebenarnya istilah ini enggak ada. Sementara pekerja asing kita biarkan merajalela. Concern saya adalah prioritas," papar Fahri.
Sebagai Ketua Tim Pengawas Tenaga Kerja, ia mengaku sangat mengetahui nasib pekerja Indonesia di luar negeri. Kondisinya tragis bahkan tak jarang ada yang diperbudak. Ia menegaskan kalimat pada kicauannya tak ada hubungannya dengan penghinaan.
Hal yang ditekankannya adalah bahwa ada pekerjaan pemerintah yang tak beres berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sedikitnya, ia mencatat ada dua sektor yang tak ditangani secara baik. Pertama, sektor persiapan tenaga kerja. Kedua, penempatan.
"Karena enggak ada keahlian ditempati sembarangan," ucap Fahri.
Fahri pun meminta maaf apabila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan kicauannya.
Permintaan maaf itu ia sampaikan melalui Twitter, setelah sebelumnya menjelaskan terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya.
"Tapi apapun, Kita harus berhadapan. Kepada pemangku profesi yang merasa terhina saya minta maaf. Terima kasih," tulis Fahri.
Fahri juga pada akhirnya menghapus kicauannya mengenai TKI itu. (Ihsanuddin/ Kompas.com)