Caranya adalah dengan mengumpulkan semua laman yang berkaitan dengan kata kunci, lalu menyusun urutannya di laman hasil search berdasarkan lebih 200 kriteria, seperti tingkat kebaruan, kualitas situs, jumlah tautan dari situs lain yang terhubung, serta kesesuaian dengan konteks permintaan pengguna. Situs-situs yang dinilai sebagai laman spam atau berbahaya ikut disaring.
Semua proses di atas terjadi dengan sangat cepat. Hanya dibutuhkan waktu 1/8 detik dari penekanan tombol “enter” hingga menyajikan hasil pencarian.
Nah, perkara Google yang menyarankan pengguna supaya mengganti nama “Foke” dengan “Ahok” sebenarnya berakar dari niat Google mempermudah pengguna sekaligus menyodorkan hasil search yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
Google menggunakan beberapa cara seperti mengoreksi salah ketik dan menggunakan machine learning untuk coba mengerti maksud pertanyaan pengguna.
Satu cara lainnya adalah menyodorkan saran berupa kata kunci alternatif yang dinilai lebih tepat dan bisa membuahkan hasil pencarian yang lebih mengena.
Dalam hal ini, ketika pengguna coba mencari dengan keyword “sungai bersih karena Foke”, Google menyarankan untuk mengganti nama “Foke” dengan “Ahok”.
Mungkin pertimbangannya didasarkan pada popularitas kata kunci yang bersangkutan.
Kata kunci “sungai bersih karena Foke” membuahkan sekitar 199.000 hasil search, sementara “sungai bersih karena Ahok” menampilkan sekitar 844.000 hasil.
Algoritma Google boleh jadi turut menimbang kesamaan antara “Foke” dengan “Ahok” yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah DKI Jakarta.
Sedangkan, kata-kata lain di luar "foke" tidak disarankan untuk diganti dan dibiarkan apa adanya.
"Kedekatan" kata kunci Foke dan Ahok ini terus melekat di sejumlah pencarian di Google.
Coba saja googling "sungai bandung bersih karena foke", Google akan memberi saran apakah yang ingin dicari sebenarnya "sungai bandung bersih karena ahok". Begitu pula dengan pencarian "rumah digusur karena foke" akan disarankan jadi "rumah digusur karena ahok".
Jadi di sejumlah besar pencarian dengan kata kunci "foke", Google akan memberi saran ke pengguna ke pencarian kata kunci "ahok".
Fitur "Mungkin maksud Anda?"
Fitur pemberian saran berupa kata kunci alternatif yang dinilai lebih tepat ini dikenal dengan istilah saran pengejaan (spelling suggestion) dan telah diimplemetasikan sejak lama oleh Google.
Saran biasanya dimulai dengan pertanyaan “Did you mean?” atau “Mungkin maksud Anda?” dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di bagian atas laman hasil pencarian.
Bagaimana cara Google mencari saran kata kunci alternatif? Ketika pengguna memasukkan kata kunci, sebuah algoritma khusus akan membandingkan kata kunci dimaksud dengan kata-kata lain yang mirip.
Faktor-faktor yang dijadikan kriteria perbandingan dalam memberi saran ini antara lain bahasa yang digunakan, lokasi geografis pengguna, dan popularitas search tadi.
Dari perbandingan, kalau algoritma tersebut menyimpulkan bahwa sebuah alternatif kata kunci bisa membuahkan hasil yang lebih relevan ketimbang kata awal yang diketikkan oleh pengguna, maka alternatif kata kunci itu bakal ditampilkan di atas hasil search dengan pertanyaan “Did you mean?”
Jika algoritma Google menyakini bahwa kata kunci alternatif pasti bisa membuahkan hasil lebih relevan, maka kata kunci alternatif tersebut secara otomatis akan digunakan dalam pencarian, alih-alih kata kunci awal yang diketik oleh pengguna.
Pengguna masih bisa memilih untuk menampilkan hasil pencarian berdasar kata kunci awal dengan mengklik opsi berbunyi “Search instead for” yang terpampang di atas layar.
Cara kerja spelling sugestion Google mirip dengan spell checker di software kantoran. Hanya saja, karena mengambil data dari seantero internet, spelling suggestion Google mampu memberi saran dengan lebih tepat dan sesuai konteks.
Bisa ngawur
Pada 2010, Google memasukkan kemampuan spelling correction ke dalam Google Suggest (fitur untuk menyajikan prediksi kata kunci dan opsi autocomplete ketika pengguna sedang mengetik di kolom search), masih dalam rangka memudahkan pengguna dalam mencari hasil search sesuai kebutuhan.
Dengan begitu, mesin pencari Google diharapkan bisa memprediksi apa yang hendak dicari pengguna dengan akurat, bahkan sebelum pengguna selesai mengetik kata kunci.
Meski berguna, kerjanya tak selalu mulus. Algoritma prediksi Google sering membuahkan saran kata kunci yang berpotensi menimbulkan salah pengertian seperti dalam hal “sungai bersih karena Ahok”.
Ada juga yang mengandung muatan SARA atau pornografi, terdengar aneh atau konyol.
Google secara rutin menyaring dan membuang prediksi-prediksi yang ngawur ini supaya tidak menjebak pengguna di kemudian waktu.
Sang raksasa internet menambahkan disclaimer untuk menjelaskan bahwa prediksi dan saran alternatif kata kunci agar tak disangka sebagai sikap resmi dari Google.
Semua hanya dimunculkan berdasar apa yang sering dicari pengguna internet lewat layanannya.
“Prediksi search bukan jawaban untuk sesuatu yang Anda cari, bukan pula pernyataan dari orang lain atau Google mengenai pencarian Anda,” tulis Google dalam laman penjelasan terknologi terkait.
Mungkin Google tidak benar-benar ingin membantah pernyataan Anies soal siapa yang berjasa membersihkan sungai di Jakarta.
(Oik Yusuf/ Kompas.com )