Ramadhan 2021
Apakah Sah Puasa Wanita yang Ragu Telah Keluar Darah Haid Saat Berbuka? Berikut Penjelasannya
Pernahkah kita (wanita) mengalami haid ketika berbuka puasa, namun ragu apakah keluar darah tersebut usai magrib atau sebelumnya?
Penulis: Triroessita Intan
Editor: Triroessita Intan Pertiwi
Reporter : Triroessita Intan Pertiwi
TRIBUNSTYLE.COM - Pernahkah kita mengalami haid ketika berbuka puasa, namun ragu apakah keluar darah tersebut usai magrib atau sebelumnya?
Kondisi seperti ini kerap membuat bingung muslimah apakah puasanya sah atau tidak.
Semisal seorang wanita merasakan mules, kemudian memeriksanya pada pukul 4 sore dan mendapati tidak ada darah sama sekali.
Namun saat berbuka (jam 6) baru ketahuan muncul darah haid di celana dalam.
Dalam kondisi seperti ini, apakah puasanya sah, atau harus menggganti pada hari lainnya?
Baca juga: Apakah Sah Puasa Seorang Muslim yang Tidak Melaksanakan Sholat Fardu? Apakah Allah SWT Menerimanya?
Baca juga: 5 Alasan Jangan Jadi Orang Pelit di Bulan Ramadhan 1442 H, Lengkap Doa Dihindarkan dari Sifat Kikir
Sebelum membahas tentang sah atau tidaknya puasa wanita terkait keraguan haid, mari kita pahami terlebih dulu apa yang dimaksud dengan haid.
Haid secara bahasa berarti sesuatu yang mengalir dan memancar.
Secara istilah syari, haid adalah:
دَمٌ طَبِيْعَةٌ يَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ الرَّحِمِ يَعْتَادُ الأُنْثَى إِذَا بَلَغَتْ فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَةٍ
“Darah tabiat yang keluar dari bagian dalam rahim, menjadi kebiasaan wanita ketika sudah baligh pada waktu tertentu.” (Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:111)
Pada umumnya seorang wanita akan mengalami haid sebanyak sekali dalam satu bulan.
Siklus tiap wanita berbeda satu sama lainnya. Siklus ini juga dapat dipengaruhi oleh kondisi hormon, dan tingkat kesetresan seseorang.
Lantas bagaimana keputusan kita terkait darah haid yang keluar saat berbuka puasa?
Dikutip dari rumaysho.com, kita dapat memutuskan hal ini dengan memperhatikan prinsip 'pegang yang yakin, tinggalkan yang ragu-ragu'.
Dalam shahih Bukhari-Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR. Bukhari no. 177 dan Muslim no. 361).
Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits di atas,
مَعْنَاهُ يَعْلَم وُجُود أَحَدهمَا وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ . وَهَذَا الْحَدِيث أَصْل مِنْ أُصُول الْإِسْلَام وَقَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْفِقْه ، وَهِيَ أَنَّ الْأَشْيَاء يُحْكَم بِبَقَائِهَا عَلَى أُصُولهَا حَتَّى يُتَيَقَّن خِلَاف ذَلِكَ . وَلَا يَضُرّ الشَّكّ الطَّارِئ عَلَيْهَا
“Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijma’). Hadits ini menjadi landasan suatu kaedah dalam Islam dan menjadi kaedah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu yang baru saja datang, tidaklah masalah.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 49).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كُلُّ احْتِمَالٍ لَا يَسْتَنِدُ إلَى أَمَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ لَمْ يُلْتَفَتْ إلَيْهِ
“Setiap yang masih mengandung sangkaan (keraguan) yang tidak ada patokan syar’i sebagai pegangan, maka tidak perlu diperhatikan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21: 56)
Ada kaedah yang bisa menjawab masalah di atas,
أَنَّ كُلَّ مَشْكُوكٍ فِيهِ مُلْغًى فَكُلُّ سَبَبٍ شَكَكْنَا فِي طَرَيَانِهِ لَمْ نُرَتِّبْ عَلَيْهِ مُسَبَّبَهُ ، وَجَعَلْنَا ذَلِكَ السَّبَبَ كَالْعَدَمِ الْمَجْزُومِ بِعَدَمِهِ فَلَا نُرَتِّبُ الْحُكْمَ ، وَكُلُّ شَرْطٍ شَكَكْنَا فِي وُجُودِهِ جَعَلْنَاهُ كَالْمَجْزُومِ بِعَدَمِهِ فَلَا نُرَتِّبْ الْحُكْمَ ، وَكُلُّ مَانِعٍ شَكَكْنَا فِي وُجُودِهِ جَعَلْنَاهُ مُلْغًى كَالْمَجْزُومِ بِعَدَمِهِ فَيَتَرَتَّبُ الْحُكْمُ إنْ وُجِدَ سَبَبُهُ فَهَذِهِ الْقَاعِدَةُ مُجْمَعٌ عَلَيْهَا مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ
“Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4: 94, Asy-Syamilah)
Dari kaedah di atas dapat diartikan bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci, yakni saat kita mengecek kondisi pada pukul 4 sore.
Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci.
Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haid dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci.
Kesimpulannya, masalah di atas tetap dianggap masih dalam keadaan suci ketika masuk buka puasa.
Sehingga puasanyatetap sah, alias tidak perlu diqadha’.
(TribunStyle.com / Triroessita Intan Pertiwi)
#haid #menstruasi #puasa #magrib
Baca juga: Masih Banyak yang Salah, Ust Adi Hidayat Jelaskan Tata Cara Mandi Wajib Sesuai Tuntunan Rasulullah
Baca juga: Ust Adi Hidayat Jelaskan Doa Buka Puasa Ramadhan yang Benar, Ini 5 Amalan Sunnah Saat Batalkan Shaum
Baca juga: Ustaz Adi Hidayat Jelaskan Sahur Ala Rasulullah, Ingatkan soal Imsya & Amalan Terbaik Sebelum Fajar