Virus Corona
Masih Banyak yang Tak Percaya Vaksin, Kelompok Anti-vaksin Paksa Tutup Fasilitas Vaksiniasi Covid-19
Masih banyak yang tak percaya dengan vaksin, kelompok anti-vaksin ini paksa tutup fasilitas vaksiniasi Covid-19.
Penulis: Dhimas Yanuar Nur Rochmat
Editor: Dhimas Yanuar
Penulis: Dhimas Yanuar
TRIBUNSTYLE.COM - Masih banyak yang tak percaya dengan vaksin, kelompok anti-vaksin ini paksa tutup fasilitas vaksiniasi Covid-19.
Ternyata tak sedikit masyarakat di berbagai negara di dunia yang tidak percaya dengan vaksin.
Bahkan sebelum adanya virus corona Covid-19, banyak yang menolak dengan vaksinisasi penyakit lainnya.
Seperti vaksinasi imuno pada penyakit Campak, Polio, Campak, hingga Influenza.
Beruntung hal ini berkurang saat pandemi besar seperti ini terjadi, seperti yang dilansir dari Kompas.com pada (19/1/2021).
Penyebab penolakan vaksin bermacam-macam.
Baca juga: POPULER Apa Itu Covid Tongue? Infeksi Mirip Sariawan Disebut Gejala Baru Covid-19, Ini Ciri-cirinya
Baca juga: Tekan Penyebaran Covid-19, Bersama ShopeePay, Alodokter Beri Layanan Konsultasi Kesehatan via Online

Ada yang disebabkan oleh hoaks seputar vaksin dan ada pula yang disebabkan faktor agama, yakni terkait kehalalan bahan baku vaksin.
Kendati demikian, penolakan terhadap vaksin bukan kali pertama terjadi di Indonesia saat pandemi Covid-19 menjangkiti masyarakat.
Beberapa juga disebut masih menolak vaksin dengan dasar kehalalan.
Penerimaan masyarakat terhadap vaksin masih menjadi catatan tersendiri bagi dunia kesehatan di Indonesia.
Sebagian masyarakat masih enggan untuk menerima vaksin karena meragukan kehalalan dan dampak kesehatan yang ditimbulkan.
Hal ini ternyata juga terjadi di Amerika Serikat.
Kelompok anti-vaksin memblokir pintu masuk salah satu fasilitas vaksinasi Covid-19 di Los Angeles, Amerika Serikat ( AS), pada Sabtu (30/1/2021).
Akibatnya, fasilitas tersebut terpaksa ditutup untuk sementara waktu karena lusinan orang memblokir pintu masuknya.
Padahal, ratusan orang-orang telah mengantre selama berjam-jam di dalam mobil mereka sebagaimana dilansir dari Kompas.com dari New York Post.
Departemen Pemadam Kebakaran Los Angeles menutup pintu masuk ke pusat vaksinasi di Stadion Dodger tersebut pada Sabtu sekitar pukul 14.00 waktu setempat sebagai tindakan pencegahan.
Los Angeles Times melaporkan, orang-orang yang memblokir pintu masuk tersebut adalah anggota kelompok anti- vaksin dan kelompok sayap kanan.
Beberapa dari mereka membawa tanda-tanda yang mengecam vaksin Covid-19 dan berteriak agar orang-orang tidak disuntik vaksin virus corona.

Beruntungnya, tidak ada insiden kekerasan yang dilaporkan di tempat tersebut sebagaimana dilaporkan oleh Los Angeles Times.
"Ini salah besar," kata German Jaquez, yang mengemudi dari rumahnya di La Verne dan telah menunggu satu jam untuk vaksinasi ketika gerbang stadion ditutup. Dia mengatakan beberapa pengunjuk rasa memberi tahu orang-orang bahwa virus corona tidak nyata dan vaksinasi berbahaya.
Seorang pejabat mengatakan, petugas pemadam kebakaran berencana membuka kembali fasilitas vaksinasi sekitar pukul 15.00 waktu setempat.
Fasilitas vaksinasi tersebut ini biasanya buka dari mulai pukul 08.00 waktu setempat hingga pukul 20.00 waktu setempat.
Aksi pemblokiran tersebut diserukan melalui internet sambil meminta para anti-vaksin membawa spanduk menolak vaksin.
Baca juga: Gadis 4 Tahun Ini Lumpuh Setelah Tertular COVID-19, Ayah Meninggal, Sempat Alami Gejala Neurologis
Baca juga: Waspada! Ini Gejala Baru Virus Corona, Covid Tongue, Mirip Sariawan & Muncul Bercak, Kenali Bedanya
--
WHO mengungkapkan varian Covid-19 baru telah menyebar ke 70 negara, varian itu disebut bisa membuat vaksin dan antibodi menjadi kurang efektif.
Baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan varian Covid-19 baru telah menyebar dengan cepat di puluhan negara, varian itu bahkan disebut bisa membuat perlindungan vaksin dan antibodi menjadi kurang efektif.
Melansir The Straits Times yang mengutip AFP, dalam pembaruan epidemiologi terbaru, badan kesehatan PBB mengatakan varian Covid-19 yang lebih menular yang pertama kali terlihat di Inggris pada 25 Januari telah menyebar ke 70 negara di semua wilayah di dunia.
Menurut WHO, varian baru yang dikenal sebagai VOC 202012/01 atau B.1.1.7 dan telah terbukti lebih mudah menular daripada varian virus sebelumnya, dengan demikian telah menyebar ke 10 negara lagi selama seminggu terakhir.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pekan lalu juga memperingatkan bahwa studi baru telah mengindikasikan strain bisa lebih mematikan. Akan tetapi WHO menekankan pada Rabu bahwa hasil tersebut masih awal, dan lebih banyak analisis diperlukan untuk lebih memperkuat temuan tersebut.
Semua virus bermutasi ketika mereka mereplikasi untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka, dan para ilmuwan telah melacak beberapa mutasi Sars-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.
Baca juga: BEREDAR Foto Disebut Pasien Pertama Corona dari China, Jika Ditemukan Misteri Covid Mungkin Terkuak
Baca juga: Ahli Epidemiologi Ingatkan Vaksin Virus Corona Bukan Solusi Ajaib Atasi Pandemi Covid-19

Sebagian besar mutasi tidak terlalu penting, tetapi WHO telah mendesak negara-negara untuk secara aktif bekerja untuk menemukan mutasi yang mungkin secara signifikan mengubah virulensi atau penularan virus.
Kemudian, ada pula kasus varian 501.V2 yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada bulan Oktober.
WHO mengatakan pada Rabu bahwa varian itu kini telah menyebar ke 31 negara, delapan lebih banyak dari seminggu yang lalu.
Masih mengutip The Straits Times, seperti varian Inggris, varian Afrika juga memiliki mutasi pada protein lonjakannya - bagian dari virus yang menempel pada sel manusia dan membantunya menyebar - membuatnya berpotensi lebih menular daripada jenis lain.
"Tetapi penelitian juga menunjukkan bahwa varian ini kurang rentan terhadap netralisasi antibodi," kata WHO.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa varian tersebut menimbulkan risiko infeksi ulang yang tinggi, dan juga dapat menghambat keefektifan vaksin Covid-19 yang jumlahnya terus meningkat.
WHO mengatakan lebih banyak penelitian diperlukan, tetapi menekankan bahwa penelitian observasi di Afrika Selatan tidak menunjukkan peningkatan risiko infeksi ulang.
WHO juga bilang, varian ketiga dari virus tersebut, yang pertama kali ditemukan di Brasil, sekarang ada di delapan negara, naik dari hanya dua minggu lalu.
Varian yang disebut P1, telah menimbulkan kekhawatiran serupa bahwa virus itu bisa lebih menular atau menyebabkan penyakit yang lebih parah.
“Studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai apakah ada perubahan dalam penularan, tingkat keparahan atau aktivitas penetral antibodi sebagai akibat dari varian baru ini,” kata WHO.
WHO: Pandemi Virus Corona Tahun Kedua Akan Lebih Buruk
Kepala keadaan darurat Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO), Rabu (13/1/2021), memperingatkan tahun kedua pandemi virus corona kemungkinan lebih buruk, setidaknya dalam beberapa bulan pertama.
Selama diskusi daring dengan beberapa pejabat WHO lainnya, Mike Ryan menyampaikan hal itu mengingat dinamika transmisi dan masalah lain yang diamati hingga kini. Ia berpandangan 2021 akan lebih sulit, terutama di bumi belahan utara.
Dua varian virus yang diidentifikasi di Inggris dan Afrika Selatan terbukti lebih mudah menular, jika tidak lebih berbahaya dan menimbulkan kekhawatiran di negara-negara Eropa.
Ryan menegaskan penting untuk belajar dari hal-hal yang berhasil dan tidak berhasil di setiap negara untuk memerangi virus itu dari berbagai aspek - sains, komunikasi publik, pemerintahan, dan menemukan kombinasi terbaik dari semua pembelajaran tersebut.
Ryan menyampaikan pada akhir tahun lalu, selama masa liburan terjadi penurunan yang tidak akurat dalam pelaporan terkait infeksi, sehingga memberi kesan dapat tenang dalam pandemi.
Ia menyatakan dalam seminggu terakhir itu, kasus meningkat lagi, dengan tambahan 5 juta infeksi Covid-19 di seluruh dunia dan 85.000 kematian.
Ryan menyatakan kecuali Asia Tenggara, semua wilayah di dunia menunjukkan lonjakan infeksi selama seminggu terakhir.
Amerika Serikat memimpin lonjakan kasus Covid-19 dengan menyumbang setengah dari jumlah kasus secara global dan 45 persen dari seluruh kematian akibat virus corona.
Eropa masih menyumbang sepertiga infeksi baru, tapi menunjukkan penurunan sebesar 10 persen dari minggu sebelumnya.
Pakar teknis WHO Maria van Kerkhove juga mengharapkan lonjakan infeksi setelah periode liburan itu memperburuk situasi di beberapa negara sebelum menjadi lebih baik.
Maria menyatakan, sejumlah negara telah berupaya mengendalikan virus dan masyarakat dapat kembali beraktivitas.
Ia mendesak negara-negara itu sebisa mungkin melakukan segala upaya untuk mempertahankan situasi tersebut.
WHO: Kekebalan Kelompok terhadap Covid-19 Belum Akan Tercapai pada 2021
Kepala ilmuwan Badan Kesehatan Dunia ( WHO) Soumya Swaminathan mengatakan pada Senin (11/1/2021) bahwa herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap virus corona belum akan tercapai pada 2021, meski ketersediaan vaksin meningkat.
Melansir DW pada Senin (11/1/2021) bahwa ada faktor yang melonggarkan kekebalan kelompok tercipta, di antaranya adalah terbatasnya akses vaksin Covid-19 untuk negara berkembang, skeptisme tentang vaksinasi, dan potensi adanya mutasi virus, menurut pakar kesehatan.
Semakin banyak negara di dunia yang berada pada tahap pertama vaksinasi masal, seperti Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Jerman, serta negara Uni Eropa lainnya.
Kekebalan kelompok terjadi ketika cukup banyak orang dalam suatu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi, sehingga penyakit tidak menyebar.
Membuat kemajuan, tetapi vaksin "membutuhkan waktu"
"Kita tidak akan mencapai tingkat kekebalan populasi atau kekebalan kelompok pada 2021," kata Swaminathan dalam sebuah pengarahan.
Ia juga menekankan bahwa aturan seperti social distancing, mencuci tangan, dan menggunakan masker terus diperlukan dalam menahan penyebaran virus corona pada tahun ini.
Swaminathan memuji "kemajuan luar biasa" yang dibuat oleh para peneliti untuk mengembangkan beberapa vaksin yang aman dan efektif dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Beberapa negara saat ini mengelola vaksin yang dikembangkan oleh BioNTech-Pfizer, Universitas Oxford/AstraZeneca, dan Moderna.
Ilmuwan WHO menyerukan untuk orang-orang "sedikit bersabar", dan mengatakan bahwa ketersediaan vaksin Covid-19 "membutuhkan waktu" karena skala produksi dosis mencapai miliaran.
"Vaksin akan datang," katanya.
"Mereka akan pergi ke semua negara...tapi sementara itu kita tidak boleh lupa bahwa ada langkah-langkah yang perlu dilakukan," tambahnya, mengacu pada menjaga kebersihan dan jarak sosial.
Di Amerika Serikat, yang saat ini memiliki jumlah kasus harian tertinggi di dunia, para pejabat mengatakan pada Senin (11/1/2021) bahwa lebih dari 25,4 juta dosis vaksin sejauh ini telah didistribusikan dengan hampir 9 juta dosis telah diberikan kepada publik.
Di Jerman, lebih dari 600.000 orang sejauh ini telah divaksinasi Covid-19, menurut Robert Koch, Institusi kesehatan masyarakat.
Harus skala global
"Kami tidak akan kembali normal dengan cepat," kata Dale Fisher, ketua Jaringan Siaga dan Tanggap Wabah WHO, dalam konferensi yang diselenggarakan oleh kantor berita Reuters.
"Kami tahu kita perlu mendapatkan kekebalan kelompok dan kita membutuhkannya di sebagian besar negara, jadi kami tidak akan melihat itu (kekebalan kelompok) pada 2021," kata Fisher.
"Mungkin ada beberapa negara yang mungkin mencapainya, tapi itu pun tidak akan menciptakan kondisi 'normal', terutama dalam hal pengawasan perbatasan," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Waspada! WHO bilang varian baru Covid-19 menyebar cepat di puluhan negara dan Kompas.com dengan judul WHO: Pandemi Virus Corona Tahun Kedua Akan Lebih Buruk ,WHO: Kekebalan Kelompok terhadap Covid-19 Belum Akan Tercapai pada 2021, "Kelompok Anti-vaksin Blokir Fasilitas Vaksinasi Covid-19, Serukan Warga Tak Boleh Disuntik" , dan "Cerita Penolakan Vaksin dari Era Hindia Belanda hingga Kini"