Virus Corona
Epidemiolog Sebut Demo Tolak UU Cipta Kerja Bisa Berpotensi Jadi Klaster Baru Covid-19
Demo dalam kondisi pandemi yang belum terkendali, potensial meningkatkan penularan. Lindungi pendemo, bagi masker, jangan lakukan kekerasan
Editor: Dhimas Yanuar
TRIBUNSTYLE.COM, JAKARTA -- Disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR memicu sejumlah aksi turun ke jalan oleh buruh dan mahasiswa di sejumlah daerah.
Demonstrasi memicu klaster baru penularan Covid-19.
"Demo dalam kondisi pandemi yang belum terkendali, potensial meningkatkan penularan. Lindungi pendemo, bagi masker, jangan lakukan kekerasan," kata Pakar epidemiologi FKM UI Pandu Riono, Kamis (8/10/2020).
Untuk itu, epidemiolog ini menyarankan agar pemerintah dapat merangkul masyrakat melalui dialog.
"Sebaiknya pemerintah berdialog dengan wakil masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi keberatan atas UU tersebut. Sehingga demo bisa dicegah," jelas dia.

Baca: Polisi Bubarkan Massa Buruh yang Akan Demo di Depan Gedung DPR RI
*Tujuh Isu Krusial yang Diusung Buruh*
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta 32 federasi serikat buruh lainnya akan melakukan aksi mogok nasional.
Aksi tersebut dilangsungkan pada 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja.
Mereka mengemukakan 7 poin tuntutan.

Berikut tujuh isu tersebut seperti yang dikutip dari Kompas.com :
1. Menolak penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK) dan pemberlakuan Upah Minimum Kabupaten/Kota bersyarat.
2. Menolak pengurangan nilai pesangon, dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Pesangon senilai 19 bulan upah dibayar pengusaha, sedangkan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
3. Menolak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup.
4. Menolak Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan.
5. Menolak jam kerja yang eksploitatif.
6. Menuntut kembalinya hak cuti dan hak upah atas cuti. Termasuk cuti haid, dan cuti panjang.
7. Karena karyawan kontrak dan outsourcing bisa berlaku seumur hidup, maka buruh menuntut jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing.
"Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” kata Ketua KSPI Said Iqbal beberapa waktu lalu.
--
Mahasiswa dan aktivis lingkungan punguti sampah di area demo saat berlangsungnya aksi protes tolak Undang-undang Cipta Kerja
Saat ini banyak masyarakat yang tergabung mulai buruh hingga mahasiswa melakukan protes tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Mereka menggelar orasi penolakan tersebut di depan gedung DPRD Garut, di Jalan Patriot Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Kamis (8/10/2020), sebagaimana dilansir dari Kompas.com.
Sejumlah mahasiswa dan aktivis lingkungan melakukan unjuk rasa dengan cara memunguti sampah yang ada di tempat aksi.
Terlihat mereka membawa kantong sampah plastik (trash Bag) di tangannya.

Baca juga: Paham Isinya? Tanya Ridwan Kamil Soal Kontroversi UU Cipta Kerja, Komen Menantu SBY Banjir Respon
Baca juga: POPULER UU Cipta Kerja Disorot, Cuitan Karni Ilyas di Twitter Jadi Bumerang, Banjir Protes Netizen
Mereka berkeliling di lokasi ujukrasa dan memunguti sampah-sampah plastik yang berserakan.
Ajeng Salsabila, mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Garut mengaku, ia mengaku sengaja ikut unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Lapangan Kerja yang baru saja disahkan oleh DPR RI.
Namun, dalam aksinya, Ajeng bersama sejumlah temannya memilih melakukan aksi dengan memunguti sampah yang ditimbulkan saat aksi dilakukan.
"Bisa disebut spontan juga, tadi lihat kawan-kawan aktivis lingkungan, aksinya mungutin sampah plastik disini, makanya kita ikut bantu mereka," jelas Ajeng yang di kampusnya tergabung dalam himpunan mahasiswa pecinta alam.
Ajeng melihat, jumlah massa aksi tersebut terbilang besar hingga mencapai ribuan orang.

Pastinya, lanjut Ajeng, akan menyisakan sampah-sampah plastik.
Terutama gelas plastik dan botol bekas minuman.
Oleh karena itu, dirinya memilih aksi pungut sampah untuk mendukung aksi mahasiswa dan buruh tolak UU Cipta Lapangan Kerja.
Sampah-sampah hasil pungutan tersebut sebagian dibuang di tempat penampungan sampah.
Namun, ada juga yang langsung diminta oleh pemulung.
"Tadi juga satu plastik sudah diambil sama pemulung," katanya.
Aktivis lingkungan di Garut, Usep Ebit Mulyana mengatakan, dirinya bersama beberapa aktivis lingkungan memang sengaja terjun ke lokasi aksi untuk memungut sampah.
Aksi yang dilakukannya ini sebaga bentuk dukungan terhadap aksi mahasiswa dan buruh menolak UU Cipta Lapangan Kerja.
"Saling bantu, kita dukung aksi mahasiswa dan buruh dengan cara kita," katanya.
Ribuan massa aksi dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh, Kamis (8/10/2020) menggelar aksi unjukrasa menolak pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja di Garut.
Massa aksi menuntut, DPRD Garut membuat pernyataan menolak UU Cipta Lapangan Kerja yang telah disahkan DPR-RI.
Komisioner Komnas Perempuan: UU Cipta Kerja Layak untuk Ditolak
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Bahrul Fuad menilai, pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja layak untuk ditolak.
Terutama, kata dia, jika dilihat dari sisi kepentingan disabilitas.
"Melihat dari satu sudut pandang ini saja, memang UU Cipta Kerja tersebut layak untuk ditolak," kata Bahrul kepada wartawan, Rabu (7/10/2020).
Bahrul mengatakan, UU tersebut dibuat dengan pemikiran yang tidak cermat dan dipenuhi nafsu untuk segera mengambil keputusan pengesahan.
Menurutnya, tidak perlu membaca dengan cermat untuk melihat UU Cipta Kerja dibuat dengan tergesa-gesa.

Hal itu, terlihat dari masih adanya penggunaan istilah penyandang cacat dalam UU tersebut.
"Beberapa pasal di UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah penyandang cacat bukan penyandang disabilitas sebagaimana yang tertulis di dalam UU Penyandang Disabilitas," ujarnya.
"Hal ini akan menguatkan kembali stigma negatif bagi penyandang disabilitas," lanjut dia.
Selain itu, Bahrul juga melihat ada pasal yang bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada penyandang disabilitas akibat kecelakaan kerja.
Hal itu tertuang pada Pasal 81 UU Cipta Kerja tepatnya pada poin perubahan Pasal 154A yang menyebutkan perusahaan tidak bisa melakukan PHK pada pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya melewati jangka waktu 12 bulan.
Baca juga: Momen Kocak Mahasiswa Tercebur Selokan saat Demo Tolak Cipta Kerja di Semarang, Langsung Jadi Meme
Baca juga: KRONOLOGI Mahasiswi Kena Lemparan Besi Sampai Berdarah saat Demo Tolak UU Cipta Kerja di Semarang
"Pasal ini bertentangan dengan Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas yang menyaratkan tersedianya kuota tenaga kerja penyandang disabilitas dua persen untuk BUMN dan satu persen untuk Badan Usaha Swasta," tuturnya.
Bahrul menuturkan, jika diperhatikan juga masih banyak dalam UU Cipta Kerja ini yang bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Serta bertentangan dengan semangat pembangunan inklusif disabilitas secara umum.
"Jika ia bertentangan maka Undang-Undang atau peraturan yang dibuat sifatnya menggantikan atau menghapus UU atau peraturan sebelumnya," ucap dia.
Adapun UU Cipta Kerja telah disahkan DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
(TribunStyle.com/Nafis,Kompas.com/Kontributor Garut, Ari Maulana Karang/Sania Mashabi)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Di Tengah Demo Tolak Omnibus Law, Mahasiswa dan Aktivis Lingkungan Punguti Sampah Massa Aksi
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Komisioner Komnas Perempuan: UU Cipta Kerja Layak untuk Ditolak
Baca juga: Paham Isinya? Tanya Ridwan Kamil Soal Kontroversi UU Cipta Kerja, Komen Menantu SBY Banjir Respon
Baca juga: POPULER UU Cipta Kerja Disorot, Cuitan Karni Ilyas di Twitter Jadi Bumerang, Banjir Protes Netizen