10 Sajak Sapardi Djoko Damono yang Fenomenal, 'Pada Suatu Hari Nanti, Jasadku Tak akan Ada Lagi'
Mengenang Sapardi Djoko Damono, ini 10 sajak fenomenal sang maestro puisi, 'Pada Suatu Hari Nanti' hingga 'Hujan Bulan Juni'.
Penulis: Gigih Panggayuh Utomo
Editor: Amirul Muttaqin
TRIBUNSTYLE.COM - Mengenang Sapardi Djoko Damono, ini 10 sajak fenomenal sang maestro puisi, 'Pada Suatu Hari Nanti' hingga 'Hujan Bulan Juni'.
Kabar duka datang dari kancah sastra Indonesia.
Sastrawan legendaris Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu (19/7/2020) pukul 09.17 WIB.
Sapardi mengembuskan napas terakhirnya pada usia ke 80 tahun di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.
Ia sempat mendapatkan perawatan karena faktor usia yang membuat fungsi organ menurun dan adanya infeksi berat.
Menyoal karya-karyanya, ada segudang puisi Sapardi yang populer sepanjang masa, tak lekang oleh waktu.
• Sastrawan Sapardi Djoko Damono Meninggal Dunia, Pak Sapardi Trending di Twitter
• Profil Sapardi Djoko Damono, Perjalanan Hidup hingga Deretan Karya Penyair Hujan Bulan Juni

Sang maestro sajak ini telah melahirkan karya-karya emas sejak masih sekolah, sekitar tahun 1950-an.
Puisi-pusisinya seperti abadi, tetap berada di hati para penggemar bahkan anak muda masa kini.
Sajak-sajak yang diciptakan Sapardi terkenal sederhana, tapi punya makna yang mendalam.
Inilah 10 puisi karya Sapardi Djoko Damono yang fenomenal.
1. Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(1989)
2. Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.
(1991)
3. Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
(1978)
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
5. Sajak Kecil tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku

6. Kuhentikan Hujan
Kuhentikan hujan. Kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
ada yang berdenyut
dalam diriku:
menembus tanah basah
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari.
Tak bisa kuhentikan matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga.
(1984)
7. Sementara Kita Saling Berbisik
sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa
unggun api sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.
(1966)
8. Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang, yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi
(1982)
9. Menjenguk Wajah di Kolam
Jangan kauulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Baik, Tuan.
10. Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kau lihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
hanya desir angin yang kau rasa
dan tak pernah kau lihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kau lihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
(TribunStyle.com/Gigih Panggayuh)
BACA JUGA:
• Mengenang 71 Tahun Kepergian Chairil Anwar, Ini 10 Puisi Legendaris dari Si Binatang Jalang
• 7 Puisi Terbaik Sapardi Djoko Damono, dari Hujan Bulan Juni hingga Yang Fana Adalah Waktu