Virus Corona
Bukan Chloroquine, Ahli Amerika Sebut Obat Virus Ebola Efektif Mempercepat Kesembuhan Pasien Corona
Bukan obat Avigan atau Chloroquine, Ahli dari Amerika Serikat sebut obat Remdesivir mampu memblokir virus corona dan mempercepat waktu pemulihan.
Penulis: Dhimas Yanuar Nur Rochmat
Editor: vega dhini lestari
TRIBUNSTYLE.COM - Bukan obat Avigan atau Chloroquine, Ahli dari Amerika Serikat sebut obat Remdesivir mampu memblokir virus corona dan mempercepat waktu pemulihan.
Berbagai obat sedang diuji oleh berbagai negara dan lembaga kesehatan dunia untuk virus corona.
Dilansir dari Kompas.com, Pimpinan Lembaga Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), Dr Anthony Fauci saat di Gedung Putih menyebutkan bahwa perusahaan pembuat obat Remdesivir, Gilead Sciences mengungkapkan bukti bahwa obat itu mampu menghentikan virus corona.
Fauci mengatakan sebagaimana dikutip oleh media Perancis, AFP, "Data menunjukkan bahwa Remdesivir memiliki efek positif yang jelas dan signifikan dalam mengurangi waktu untuk pemulihan."
Dia juga menambahkan kalau Remdesivir bisa menghalangi virus corona.
Seorang ilmuwan terkemuka AS yang mengawasi uji coba klinis besar-besaran terhadap anti-Virus yang sangat dinanti-nantikan itu, pada Rabu (29/4/2020).
• FATAL Pasien Virus Corona yang Diobati Chloroquine Lebih Banyak Meninggal Daripada Perawatan Standar
• Diskusi Live, dr Tirta & Jerinx SID Sepakat Covid-19 Tak Perlu Ditakuti & Singgung Teori Konspirasi
Lalu hasil penelitan menyebutkan bahwa Remdesivir terbukti mampu menghalangi atau memblokir virus corona.
Sementara itu, NIAID diharapkan bisa merilis ringkasan hasil secara detil.
Hal ini merupakan pengobatan pertama yang terbukti meningkatkan hasil melawan virus corona Covid-19.
Sementara itu, ada beberapa berita beragam tentang obat antivirus intravena dalam beberapa pekan terakhir.
Ringkasan hasil yang diunggah di situs web Badan Kesehatan Dunia pekan lalu menunjukkan kegagalan dalam uji coba China yang lebih kecil.
The Lancet pada Rabu (29/4/2020) telah menerbitkan makalah resmi yang menggambarkan eksperimen tersebut.
Diceritakan bahwa dalam eksperimen itu terdapat 237 pasien di Wuhan, China, di mana dokter tidak menemukan dampak positif dari pemberian obat dibandingkan dengan kelompok kontrol orang dewasa kecuali untuk pasien yang membutuhkan ventilator.
Namun, uji coba di China itu dihentikan lebih awal karena tidak dapat merekrut cukup orang yang memenuhi tujuan awal mereka.
Selain itu, para ahli juga mempertimbangkan terlalu kecil untuk menarik kesimpulan yang dapat diandalkan.
• Kemenkes Sebut Pandemi Corona Menambah Penderita Gangguan Jiwa Dua Kali Lipat di Indonesia
• UPDATE Corona Dunia 30 April 2020: 3,2 Juta Kasus, Kesembuhan Capai 1 Juta Kasus, Meninggal 228 Ribu
Fauci bahkan mengatakan uji coba itu, "Bukan studi yang memadai."
Namun, uji coba yang dipimpin AS yanng dimulai akhir Februari sejauh ini merupakan yang terbesar untuk menyelidiki Remdesivir dan secara teknis paling kuat.
Remdesivir, yang sebelumnya gagal dalam uji coba terhadap Ebola, termasuk golongan obat yang bekerja pada virus secara langsung.
Yaitu bertentangan dengan mengendalikan tanggapan autoimun yang abnormal dan sering menimbulkan respons autoimun yang mematikan.
Pola itu meniru salah satu dari empat blok bangunan RNA dan DNA dan diserap ke dalam genom virus, yang pada gilirannya menghentikan patogen dari proses replikasi.
Obat antimalaria hidroksi kloroquin dan kloroquin juga banyak digunakan terhadap pasien Covid-19 sambil menunggu hasil dari uji coba besar, dengan studi awal campuran.
Terapi lain yang sedang dipelajari termasuk mengumpulkan antibodi dari penyintas Covid-19 dan menyuntikkannya pada pasien, atau memanen antibodi dari tikus rekayasa genetika yang sengaja terinfeksi.
Chloroquine justru
Menurut sebuah studi di Amerika Serikat pasien virus corona yang diobati dengan Chloroquine lebih banyak yang meninggal daripada perawatan standar.
Presiden Indonesia, Joko Widodo sendiri juga menggunakan Chloroquine sebagai obat tambahan untuk merawat pasien virus corona Covid-19.
Obat Hydroxychloroquin atau Klorokuin ini disebut akan digunakan sebagai obat kedua yang berarti tidak bisa menyembuhkan secara total.
Obat malaria itu sebelumnya juga telah digemborkan oleh Donald Trump sebagai obat virus corona di Amerika Serikat.
Namun dilansir dari Dailymail pada (22/4/2020), sekitar 28% dari 368 veteran militer Amerika Serikat yang positif virus corona dan diobati dengan Chloroquine meninggal dunia.
Sedangkan 11% veteran tersebut meninggal ketika mendapat perawatan standar, termasuk cairan IV dan intubasi untuk membantu mereka bernafas.
Donald Trump sempat memuji obat itu sebagai 'pengubah keadaan' meskipun dokter dan ilmuwan memperingatkan bahwa belum ada bukti bahwa obat itu bisa mengobati virus corona.
Pada hari Selasa (21/4/2020) NIH (Kementerian Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat) memperingatkan bahwa penggunaan obat ini dikombinasikan dengan azitromisin bisa beracun untuk pasien Covid-19.
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa penelitian kepada veteran militer di AS terinfeksi virus corona menunjukkan bahwa Chloroquine tidak memberikan manfaat bagi pasien.
Studi nasional itu bukan eksperimen yang berskala besar namun menjadi pandangan awal tentang obat Chloroquine.
Studi ini masih terhitung baru, dan diunggah dalam sebuah situs online, dan belum ditinjau oleh ilmuwan lain.
Sementara itu, panel para ahli dari NIH juga mengeluarkan rekomendasi bahwa penggunaan hydroxychloroquine / Chloroquine tidak direkomendasi dicampur dengan antibiotik dengan alasan kekhawatiran akan toksisitas. (*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Fauci Sebut Remdesivir Produksi Gilead Sciences Terbukti Signifikan Melawan Virus Corona".
• UPDATE Virus Corona Nasional Kamis 30 April 2020: 9.771 Kasus, Jakarta 4 Ribu, Jawa Barat Capai 1009
• Baru Sembuh dari Virus Corona, Dokter di Surabaya Tiba-tiba Meninggal: Padahal Semua Sudah Negatif