NASIB Mohammad Tewas Ditembak Tentara Israel, Mengira Sudah Gencatan Senjata, Peluru Menembus Dada
Pilunya nasib Mohammad Ibrahim Fahed Bahloul, bocah 10 tahun tewas ditembak di bagian dada oleh tentara Israel.
Penulis: Wahyu Putri Asti Prastyawati
Editor: Putri Asti
TRIBUNSTYLE.COM - Kekejaman Israel terhadap Palestina membuat 15 ribu nyawa melayang.
Dari total korban jiwa, sebanyak 5.600 di antaranya adalah anak-anak.
Pasukan Israel juga menembak dan membunuh seorang anak laki-laki Palestina berusia 10 tahun di wilayah utara Tepi Barat yang diduduki kemarin.
Dia adalah Mohammad Ibrahim Fahed Bahloul.

Mohammad ditembak di bagian dada oleh seorang tentara Israel sekitar pukul 18:30 pada tanggal 23 November di kota Beita, Palestina, yang terletak di selatan Nablus di wilayah utara Tepi Barat.
Mohammad menderita luka tembak di dada selama serangan militer Israel ketika pasukan Israel mulai mundur dari Beita.
Baca juga: MOMEN Ambulans dari Bekasi Mengangkut Warga Palestina yang Jadi Korban Serangan Brutal Israel
Saat itu, Mohammad masih dalam kondisi sadar.
Dia lalu diangkut dengan mobil ke pusat kesehatan terdekat di mana karena terluka parah.
Ambulans membawanya ke Rumah Sakit Medis Al-Najah di Nablus di mana dia meninggal sekitar jam 8 malam.
“Anak-anak Palestina terus menanggung beban terbesar dari kebijakan tembak-menembak yang dilakukan militer Israel,” kata Ayed Abu Eqtaish, direktur program akuntabilitas di DCIP.
“Pasukan Israel berkeliaran di Tepi Barat dan mereka dapat membunuh siapa pun warga Palestina dengan impunitas penuh, termasuk anak-anak seperti Mohammad yang berusia 10 tahun.” tambahnya.

Pasukan Israel memasuki Beita sekitar jam 6 sore pada hari Kamis untuk mencari rumah-rumah di bagian barat kota.
Penduduk Palestina harus menghadapi pasukan Israel saat mereka mundur menuju Persimpangan Odla, mengejar dan melemparkan batu ke arah dua jip militer dan pengangkut personel.
Saat itu, Mohammad sedang duduk di belakang sebuah bangunan yang sedang dibangun di pinggir jalan utama ketika kendaraan militer Israel lewat dan menempuh jarak sekitar 200 meter (656 kaki) di jalan tersebut.
Dia berdiri untuk berjalan menuju jalan sambil berpikir operasi militer telah berakhir.
Kemudian, sebuah kendaraan militer Israel berhenti di dekatnya dan seorang tentara Israel melepaskan tembakan dari dalam kendaraan tersebut.
Semua orang berlari, termasuk Mohammad, dan dia menyadari bahwa dia terluka.
Sementara sebanyak 56 anak-anak Palestina telah terbunuh di Tepi Barat yang diduduki sejak 7 Oktober.

Baca juga: CURHAT Pilu Yousra Abu Sharekh, 2 Minggu Lalu Hidup Nyaman di Gaza, Kini Menyedihkan bak Mimpi Buruk
Jumlah ini dihitung ketika militer Israel memulai serangan militer skala penuh di Jalur Gaza yang dijuluki Operasi Pedang Besi.
Sepanjang tahun ini, pasukan Israel telah membunuh sedikitnya 96 anak-anak Palestina di Tepi Barat, menurut dokumentasi yang dikumpulkan oleh DCIP.
Pasukan Israel menembak dan membunuh 82 anak Palestina dengan peluru tajam, sembilan anak Palestina tewas akibat serangan pesawat tak berawak, empat anak Palestina tewas akibat rudal yang ditembakkan dari helikopter serang Apache yang bersumber dari AS, dan satu anak tewas dalam serangan udara pesawat tempur Israel.
Setidaknya 211 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan Israel dan pemukim di Tepi Barat yang diduduki sejak 7 Oktober, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB.
Berdasarkan hukum internasional, kekerasan mematikan yang disengaja hanya dibenarkan dalam keadaan dimana terdapat ancaman langsung terhadap nyawa atau cedera serius.
Namun, investigasi dan bukti yang dikumpulkan oleh DCIP menunjukkan bahwa pasukan Israel menggunakan kekuatan mematikan terhadap anak-anak Palestina dalam keadaan yang mungkin merupakan pembunuhan di luar proses hukum atau pembunuhan yang disengaja.
Kisah Serupa - Yousra Abu Sharekh, 2 Minggu Lalu Hidup Nyaman di Gaza, Kini Menyedihkan bak Mimpi Buruk
Serangan Israel ke Gaza, Palestina sejak 7 Oktober 2023 lalu hingga kini masih terus berlangsung.
Puluhan ribu warga sipil yang tak berdosa pun menjadi korban.
Termasuk pula ibu bernama Yousra Abu Sharekh.
Dua minggu lalu, Abu Sharekh masih hidup nyaman di Gaza.

Namun kini kenyamanan itu berubah menjadi mimpi buruk.
Hari-hari Yousra Abu Sharekh dimulai di Jalur Gaza selatan.
Baca juga: NASIB 28 Bayi Prematur Gaza yang Dievakuasi ke Mesir, Kondisi Kritis, Makin Pilu Tak Ada Orang Tua
Di sana, dia sering kali tak tidur di tengah bunyi sirene ambulans dan keributan tetangga di sela-sela serangan udara Israel yang tiada henti.
Saat fajar menyingsing, ibu berusia 33 tahun ini mengantri berjam-jam di toko roti untuk membeli makan kedua anaknya.
Tanpa listrik, dia merasa selalu ketakutan mendengar suara pesawat tempur di atas.
Dia bergegas pada sore hari untuk menemui ibunya yang sakit di tempat penampungan PBB yang ramai, yang berjarak 20 menit dari sana.
Di sana, dia akhirnya dapat mengisi daya teleponnya dan memeriksa ayahnya yang berusia 66 tahun yang dengan keras kepala tetap tinggal di rumah mereka di utara Kota Gaza, menolak untuk mengindahkan perintah evakuasi Israel.
Hanya dua minggu yang lalu, Abu Sharekh memiliki kehidupan yang nyaman.

Dia masih bisa bekerja dan merawat keluarganya.
Kini rumahnya hancur dan kedamaain pun sirna.
“Saya merasa saat itu kami sedang bermimpi atau sekarang kami berada dalam mimpi buruk,” katanya.
“Semua orang membuat rencana, menikmati hidup mereka sebaik mungkin. Tiba-tiba kita berkeliaran di jalanan tanpa bahan bakar untuk menggerakkan mobil, listrik, air atau makanan. Rumah-rumah hilang, orang-orang terbunuh.” tambahnya.
Hal ini merupakan pandangan banyak kalangan kelas menengah di Gaza yang kecil namun masih berkembang.
Baca juga: MOMEN Ambulans dari Bekasi Mengangkut Warga Palestina yang Jadi Korban Serangan Brutal Israel
Setelah Israel menyatakan perang menyusul amukan kekerasan Hamas di pagar perbatasan, impian mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, kuliah di universitas asing, dan membeli rumah pun pupus.
Saat ini, banyak orang yang tidak bisa membayangkan masa depan mereka di kala ketakutan sehari-hari akan terbunuh dalam serangan udara.
Mereka justru harus tinggal tenda-tenda di luar fasilitas PBB yang penuh sesak, bersama puluhan kerabat lainnya, dan para pekerja PBB yang bergulat dengan kehancuran rumah mereka.
Abu Sharekh lulus musim panas ini dengan gelar sarjana teknik dari Portland State University, di Oregon, sebagai sarjana Fulbright.
Dia pulang ke rumah dengan perasaan gembira karena telah mendapatkan pekerjaan di Rumah Sakit al-Ahli di Kota Gaza dan dapat berkumpul kembali dengan keluarganya.
Dalam kurun waktu seminggu mulai tanggal 7 Oktober, harapan-harapan itu sirna seolah hancur di bawah reruntuhan rumah-rumah yang rata dengan tanah di lingkungannya di Kota Gaza.

Tetap bernapas menjadi hal yang diimpikannya.
Tempat kerjanya menjadi lokasi ledakan yang mengerikan.
Berbagi rumah dengan 70 kerabat pengungsi lainnya di sebuah rumah di Khan Younis, Abu Sharekh mengatakan hari itu dimulai dengan kegelisahan tentang bagaimana mendapatkan roti untuk memberi makan banyak anak di sana.
Kedua putra Abu Sharekh, berusia 5 dan 10 tahun, bertahan hidup hanya dengan makan kacang kalengan.
Air dijatah, hanya 300 mililiter (10 ons cairan) per orang setiap hari.
Pada malam hari, tempat tinggal mereka gelap gulita.
Namun, Abu Sharekh mengatakan ini lebih baik daripada tempat penampungan PBB yang penuh sesak dan kotor di Pusat Pelatihan Khan Younis, tempat ibunya tinggal.

Tempat penampungan tersebut menampung hampir 11 kali lipat dari kapasitas yang ditentukan dengan hampir 20.000 orang.
“Ini tidak bermartabat,” kata Abu Sharekh.
Laki-laki dan perempuan mengantri untuk menggunakan fasilitas toilet yang sama.
Penantiannya begitu lama sehingga perkelahian pun terjadi.
Berbagai macam sampah menumpuk di luar.
Tidak ada pasokan makanan atau air yang stabil.
Terlebih ibunya, seorang penyintas kanker, menderita masalah pencernaan dan membutuhkan toilet selama dua hingga tiga jam sehari.
Hal ini tidak mungkin didapatkan di tempat penampungan.
“Sungguh memilukan, saya berada di dalam gedung administrasi tempat penampungan, dia berada di luar, dan saya memohon kepada pria di depan pintu agar mengizinkannya masuk ke toilet,” katanya.
“Saya tidak bisa melakukan apa pun agar dia bisa masuk, saya sangat tidak berdaya, dapatkah Anda bayangkan?” tandasnya.
(TribunStyle.com/Putri Asti)
Sumber: TribunStyle.com
Momen Bahagia Annisa Pohan Quality Time Bareng Keluarga di Jepang, Penampilan Almira Buat Salfok |
![]() |
---|
Sama-sama Cerdas, Anak Kembar di China Raih Skor Identik saat Ujian Masuk Kampus, Ortunya Bangga |
![]() |
---|
Curhat Model Asal Inggris Jalani Oplas Berujung Gagal, Implan Bokong Lepas saat Ngegym |
![]() |
---|
Viral Pasangan Influencer Gelar Pesta Pernikahan di Pesawat Boeing 747-400 yang Sedang Terbang |
![]() |
---|
Cerita YouTuber Alami Koma Usai Melahirkan di Rumah, Suami Panik Lihat Istrinya Kejang: Mengerikan |
![]() |
---|