Breaking News:

Berita Viral

DALIH Obati Santriwati Pingsan, Oknum Pengajar Ponpes di Batang Tega Lecehkan Siswinya, '4-5 kali'

F, oknum pengajar di salah satu pondok pesantren di Batang dilaporkan ke polisi lantaran tindakan pelecehan yang dilakukannya.

TribunStyle.com / kolase
Sejumlah santriwati melaporkan oknum pengajar ponpes di Batang lantaran melakukan pelecehan. 

TRIBUNSTYLE.COM - F, oknum pengajar di salah satu pondok pesantren di Batang dilaporkan ke polisi lantaran tindakan pelecehan yang dilakukannya.

Sejumlah alumni santriwati di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang ramai mendatangi Polres Batang, Kamis (27/7/2023).

Kuasa hukum korban, Muhammad Dasuki mengatakan, saat ini, ada tiga korban yang melapor.

Dari tiga korban, satu di antaranya masih di bawah umur.

Dasuki menjelaskan, oknum pengajar berinisial F itu melecehkan santriwati yang pingsan.

Baca juga: KRONOLOGI Michelle Ashley Anak Pinkan Mambo Jadi Korban Pelecehan Ayah Tiri: Mami Justru Salahin Aku

Ilustrasi pelecehan seksual dilakukan oleh oknum pengajar pesantren.
Ilustrasi pelecehan seksual dilakukan oleh oknum pengajar pesantren. (Indianexpress)

Korban yang pingsan dibawa ke ruang oknum itu dengan alasan diobati dalam ruang tertutup. Saat itulah, dugaan pelecehan terjadi.

"Dari pengakuan korban, pelecehan seksual yang dilakukan pelaku mulai dari membuka baju hingga meraba tubuh korban."

"Setiap korban mengalami pelecehan lebih dari sekali, empat hingga lima kali," terangnya.

Dasuki menambahkan, pelecehan seksual yang dilakukan oknum pengajar itu terjadi dalam rentang waktu 2020 hingga 2023.

"Yang cukup aneh adalah para santriwati yang menjadi korban ini tidak ada riwayat sakit tapi di situ (di ponpes) sering pingsan."

"Saat pingsan, setengah sadar, korban merasa diraba-raba tubuhnya hingga pada alat vital," imbuhnya.

Korban yang melapor tersebut ada yang sudah alumni atau keluar dari ponpes sehingga pelaporan ini diharapkan bisa membuka keberanian korban lain yang masih belajar di ponpes tersebut.

"Harapannya, para santriwati yang masih belajar dan menjadi korban, punya keberanian untuk melapor dan kejadian itu tidak terulang," harapnya. 

MIRIS Anak Tokoh Agama di Jateng Jadi Tersangka Pelecehan, Korban Siswi SMA Dipaksa Keluar Sekolah

TRIBUNSTYLE.COM - ASTAGFIRULLAH, anak tokoh pemuka agama di Jawa Tengah jadi tersangka pelecehan seksual, korban siswi SMA trauma hingga dipaksa keluar sekolah.

Mahasiswa yang merupakan anak dari tokoh agama di sebuah kota di Jawa Tengah menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Tersangka melakukan kekerasan seksual terhadap korban yang masih duduk di kelas 1 SMA.

Dampaknya, kini korban alami trauma berat dan dipaksa harus mengundurkan diri dari sekolah. 

Mahasiswa yang merupakan anak dari tokoh agama menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Mahasiswa yang merupakan anak dari tokoh agama menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak. (KOMPAS.COM/HANDOUT)

Baca juga: Tampang Pelaku Pelecehan di Kereta Commuter Line Arah Bekasi, Sempat Menempel, Korban Memberontak

"Kasusnya masih bergulir di Pengadilan, bukan di Kota Semarang, di satu daerah di Jawa Tengah," kata Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Citra Ayu, Sabtu (22 /7/2023).

Menurut Citra, kasus kekerasan seksual terhadap korban dengan tersangka mahasiswa dari anak tokoh agama menyebabkan korban alami depresi.

Sebab, korban tak hanya mendapatkan kekerasan seksual saja melainkan pula kekerasan fisik. 

"Bentuk kekerasan fisik berupa dicekik, ditampar dan lainnya," tuturnya.

Dampak dari kasus tersebut, korban sempat takut bertemu orang lain. 

Bahkan korban merasa semua orang tahu kasusnya ketika berada di tempat umum.

Kondisi korban kian parah lantaran dari pihak sekolah sempat mengintimidasi korban agar jangan melaporkan kasus itu ke polisi

Namun, keluarga korban kukuh membawa kasus itu ke ranah hukum.

"Kasus itu masih proses hukum, kami tak puas dengan tuntutan Jaksa 8 tahun. Kami meminta dituntut sesuai undang-undang perlindungan anak yakni tuntutan 15 tahun," bebernya.

LRC-KJHAM mencatat kasus korban kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2021 ada 11 kasus.

Tahun 2022 ada 53 kasus sedangkan di tahun ini hingga bulan Juni terdapat 9 kasus.

"Kota Semarang cukup banyak kekerasan seksual korban anak," imbuh Citra.

Ia menyebut, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban anak masih mendapatkan kendala di antaranya stigma dan steoreotip dari aparat penegak hukum.

Terutama ketika ada relasi hubungan pacaran maka kekerasan seksual dianggap suka sama suka. 

Padahal kekerasan seksual tersebut terjadi melalui ancaman, kekerasan fisik, manipulasi hingga buaian berkedok agama.

"Dari segi aparat penegak hukum belum memperhatikan latar belakang kasus sehingga ketika dibawa ke jalur hukum  korban malah semakin trauma," terangnya.

Di samping itu, akses pendidikan korban juga terancam. 

Korban kehilangan akses pendidikan lantaran diminta mengundurkan diri dari sekolah
Korban kehilangan akses pendidikan lantaran diminta mengundurkan diri dari sekolah (Unsplash)

Sebab, seringkali korban kehilangan akses pendidikan lantaran diminta mengundurkan diri dari sekolah. 

Cara tersebut digunakan sekolah untuk mendepak korban secara halus.

Catatan LRC-KJHAM, tahun ini ada satu korban diminta mengundurkan diri dari sekolah sedangkan tahun 2022 ada tiga korban yang terpaksa keluar dari sekolah.

"Adapula guru-guru yang menyalahkan korban dan meminta damai dengan pelaku," katanya.

Supaya persoalan tersebut tak berlarut-larut, Citra menyarankan supaya aparat penegak hukum melakukan kegiatan bimbingan teknis (bintek) yang diberikan kepada para penyidiknya. 

Bintek dilakukan secara menyeluruh berkaitan dengan perempuan dan anak agar  penyidik memiliki perspektif soal gender. 

Selain itu, aktif berdiskusi dengan pendamping korban.

Kemudian mengimplementasikan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru satu tahun disahkan sehingga implementasi di lapangan belum maksimal.

"Kami sempat diskusi sama penyidik pada penanganan kasus kekerasan seksual agar memasukan UU TPKS tetapi dari penyidik menyatakan belum bisa karena belum ada aturan turunan yang mengatur kekerasan seksual di bagian penyidik," bebernya.

Kepada pemerintah daerah, kata Citra, hendaknya segera menyusun aturan turunan UU TPKS. 

Meskipun saat ini pemerintah pusat sedang menyusun aturan itu melalui Perpres.

"Pemerintah hendaknya memastikan apakah korban kekerasan seksual anak sudah terpenuhi hak pendidikannya dan hak-haknya sebagai manusia yang berhadapan dengan hukum," terangnya.

Terpisah, Wali kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, program perlindungan anak  sudah ada di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak dibawahi DP3A Kota Semarang .

UPTD tersebut dibentuk pada  11 Desember  2022 sebagai upaya pengimplementasian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

"(penyusunan turunan UU TPKS) makanya ada lewat UPTD, kami juga persilahkan LBH APIK dan LRC-KJHAM untuk suport dan kolaborasi," katanya. 

Diolah dari artikel Tribunbanyumas.com dan TribunJateng.com

Tags:
Batangpelecehanpolisi
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved