Breaking News:

Bagaimana Hukum Salat dengan Sisa Tinta Pemilu Masih Menempel di Jari? Berikut Penjelasan Lengkapnya

Bagaimana hukum salat dengan sisa tinta pemilu masih menempel di jari? Berikut penjelasan lengkapnya.

Penulis: Irsan Yamananda
Editor: Dimas Setiawan Hutomo
Kompas.com
Cara Lengkap Menghilangkan Tinta Pemilu dengan Cepat, Bersihkan Noda Ungu di Kuku Jari, Ampuh! 

TRIBUNSTYLE.COM - Bagaimana hukum salat dengan sisa tinta pemilu masih menempel di jari? Berikut penjelasan lengkapnya.

Rakyat Indonesia baru saja menggelar Pemilu 2019 pada hari Rabu (17/4/2019).

Dalam pesta demokrasi tersebut, masyarakat Indonesia berhak menggunakan suaranya untuk memilih presiden & wakil presiden, DPR, dan DPD.

Setelah mencoblos kandidat yang diinginkan, biasanya masyarakat bakal mencelupkan jarinya ke tinta sebagai bukti bahwa dirinya telah mengikuti Pemilu 2019.

Lantas, bagaimanakah hukum melakukan ibadah salat dengan sisa tinta Pemilu 2019 masih menempel di jari?

Simak ulasan yang TribunStyle.com kutip dari NU Online berikut ini.

Dalam artikel NU Online berjudul Hukum Shalat dengan Sisa Tinta Pemilu, Ustaz Alhafiz Kurniawan mengatakan bahwa kesucian di pakaian, badan, dan tempat salat merupakan syarat sah salat atau ibadah lain seperti thawaf.

Karena itu, benda najis yang menempel pada ketiganya harus disucikan.

Sebelum menentukan apakah sah salat yang dilakukan dengan sisa tinta pemilu di jari, pertama harus dikaji terlebih dahulu apakah tinta tersebut mengandung najis atau tidak.

Jika uji laboratorium menyatakan bahwa tinta pemilu mengandung najis, maka umat muslim diharuskan untuk menyucikan semampunya.

Foto-Foto Jadul Pemilu Pertama Indonesia, Bilik Suara hingga Suasana TPS Masih Persis Pemilu 2019

Pemilu 2019 - Intip Besaran Gaji Presiden, Wakil Presiden Hingga Menteri di Indonesia

Jadi Pemilih Pemula Pemilu 2019, Aurel Hermansyah Sempat Bingung Cara Mencoblos DPRD

Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan sabun, batu, atau zat pembersih lainnya.

Jika warna tinta pemilu masih membekas di jari setelah dicuci, maka status jari yang terkena tinta tersebut adalah suci.

قوله (إن بقيت في الثوب أو بدن) أو نحوه (من بعد غسل له فاحكم بطهارته) للمشقة والحت والقرص سنة وقيل شرط فإن توقفت إزالته على أشنان ونحوه وجب كما جزم به القاضي والمتولي ونقله عنه النووي في المجموع وجزم به في تحقيقه وصححه في تنقيحه

Artinya, “(Jika najis itu tersisa di pakaian, badan,) atau sejenisnya, (setelah dibasuh, maka hukumilah kesuciannya) karena sulit.

Sedangkan tindakan menggosok dan mengorek bersifat sunah belaka, tetapi ada yang mengatakan bahwa keduanya syarat.

Jika penghilangan najis bergantung pada potas [kalium karbonat atau garam abu] dan sejenisnya [seperti sabun, bensin, atau cairan tajam yang lain], maka wajib sebagaimana diyakini oleh Al-Qadhi dan Al-Mutawalli, serta dikutip oleh An-Nawawi dalam Al-Majemuk dan diyakininya di Tahqiq dan disahihkan olehnya di Tanqih,” (Lihat Syekh Syihabuddin Ar-Ramli, Fathul Jawad bi Syarhi Manzhumati Ibnil Imad, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: tanpa catatan tahun], halaman 64-65).

Ustaz Alhafiz menambahkan, sisa warna najis yang tersisa di pakaian atau badan setelah diusahakan pembersihannya tidak menjadi masalah.

Sisa najis berupa warna yang idealnya harus dibersihkan secara tuntas dimaafkan karena sulit menghilangkannya sekaligus atau uzur.

Masih menurut Alhafiz, kasus ini serupa dengan sisa noda darah haid yang membekas di pakaian sebagaimana diulas Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Kitab Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram.

Keduanya menjelaskan bahwa sisa noda darah haid pada pakaian yang telah dicuci ditoleransi dengan syariat.

يعفى عما بقي من أثر اللون بعد الاجتهاد في الغسل بدليل (ولا يضرك أثره) الآتي في الحديث الذي بعده

Artinya, “Bekas warna (najis) yang tersisa pada pakaian dimaafkan setelah pakaian dicuci secara serius dengan dalil hadits selanjutnya yang berbunyi, ‘Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 54).

Ulama Mahzab Syafi'i memberikan catatan kriteria 'sulit' dalam konteks penyucian najis dengan praktik pengorekan benda tersebut sebanyak tiga kali disertai dengfan penyucian terlebih dahulu dengan alat pembersih seperti sabun dan semacamnya.

Jika pun setelah disucikan, warna najis masih tersisa, maka itu tidak masalah.

ضابط العسر قرصه ثلاث مرات مع الاستعانة المتقدمة فلو صبغ شيء بصبغ متنجس ثم غسل المصبوغ حتى صفت الغسالة ولم يبق إلا مجرد اللون حكم بطهارته

Artinya, “Kriteria sulit itu adalah tindakan mengorek sesuatu sebanyak tiga kali disertai dengan bantuan pendahuluan [seperti sabun atau pembersih lainnya].

Bila suatu benda dicelup dengan pewarna yang mengandung najis, lalu benda yang dicelup dengan pewarna tersebut dicuci hingga bersih basuhannya dan yang tersisa hanya warnanya, maka benda itu dihukumi suci,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 46).

Sumber: NU Online

(Tribunstyle/ Irsan Yamananda)

Yuk Like dan Subscribe Channel YouTube Tribunstyle di bawah ini:

Sumber: TribunStyle.com
Tags:
hukum salatNU OnlineTribunStyle.com
Rekomendasi untuk Anda

BERITA TERKINI

berita POPULER

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved