Hari Sumpah Pemuda
Sejarah Sumpah Pemuda – Era Saat Pemuda dari Berbagai Ras, Suku, dan Agama Bersatu untuk Indonesia
Tidak peduli apapun suku, ras, dan agama yang dimiliki, tujuan mereka hanyalah mengusir para pemecah belah bangsa, yakni para penjajah.
Penulis: Irsan Yamananda
Editor: Desi Kris
TRIBUNSTYLE.COM - Delapan puluh sembilan tahun yang lalu, atau tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, sekitar 700 pemuda-pemudi Nusantara dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta.
Tidak peduli apapun suku, ras, dan agama yang dimiliki, tujuan mereka hanyalah mengusir para pemecah belah bangsa, yakni para penjajah.
Mereka hanya ingin negerinya merdeka dari penjajahan.
Salah satu cara untuk meraih tujuan tersebut adalah dengan mengikrarkan sumpah untuk memiliki Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
• Pasca Oplas, Wajah Wanita Ini Bengkak! Sempat Dibilang Gagal, Ternyata Hasilnya Mengejutkan
Dengan membacakan ikrar yang sekarang dikenal dengan Sumpah Pemuda tersebut, mereka berharap bangsa ini dapat bersatu dan memperjuangkan kemerdekaan.
Mereka tidak ingin perbedaan suku, ras, dan agama membuat Nusantara terpecah belah.
Musuh utama mereka kala itu hanyalah satu, bangsa penjajah.
Salah satu pemuda yang mengikrarkan sumpah tersebut bernama Muhammad Yamin.
Pria ini lahir pada tahun 1903.
Dia adalah seorang pemuda asal Minangkabau, Sumatra Barat.
• Bukan Enji, Rupanya Sosok Pria Inilah yang Mampu Taklukan Hati Putri Ayu Ting Ting
Rasa cintanya pada bahasa dan sastra mendorongnya untuk mengajukan sumpah guna memiliki bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.
Pemuda lain bernama Soegondo Djojopoespito, adalah orang yang lahir di Jawa tahun 1905.
Sebelum tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1925, dia mengenyam pendidikan hukum di Batavia.
Pendidikan itulah yang membukakan pikirannya bahwa bangsa ini harus merdeka.
Pada tahun 1928, dia menjabat sebagai ketua panitia Kongres Pemuda II.
Rumusan sumpah pemuda dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam secarik kertas.
Setelah itu dia memberikannya pada Soegondo.
Amir Syarifuddin Harahap, seorang pemuda Batak kelahiran tahun 1907.
Dia juga ikut serta dalam Kongres Pemuda II tahun 1928.
Terlahir dari keluarga aristokrat dan intelektual tak membuatnya puas diri.
• Vanessa Angel Akhirnya Bicara Blak-blakan Penyebab Dia Mendadak Batal Nikah dengan Didi Mahardhika
Amir bahkan sampai belajar ke negeri Belanda dan menyumbangkan ide perjuangan bangsa untuk melawan penjajah.
Dia seringkali memberikan masukan saat perumusan Sumpah Pemuda.
Mewakili bagian Timur Indonesia, Johannes Leimena turut ambil bagian dalam perumusan Sumpah Pemuda tahun 1928.
Pemuda kelahiran 1905 ini adalah soerang aktivis kebangsaan yang gencar melakukan pergerakan untuk persatuan Indonesia.
Dia pun dipercaya sebagai ketua Jong Ambon.
Lagu kebangsaan Indonesia Raya tanpa teks pertama kali diperdengarkan pada saat Kongres Pemuda II.
Pemuda bernama Wage Rudolf Supratman lah penciptanya.
Rasa cintanya pada musik, khususnya biola, membuatnya berkontribunsi membangun persatuan pemuda-pemudi zaman penjajahan.
Walaupun dia meninggal dunia sebelum Indonesia merdeka, harapan W.R Supratman masih tercapai lewat karyanya.
Pemuda lain asal Jawa bernama Soenario Sastrowardoyo.
Pemuda kelahiran 1902 ini berperan sebagai penasihat dan pembicara pada Kongres Pemuda II tahun 1928.
Berbekal pengalaman pendidikan dari Belanda mendorongnya untuk menggerakkan persatuan melawan penjajah.
Sementara rumah aygn dipakai untuk mengadakan Kongres Pemuda adalah milik anak muda keuturnan Tionghoa bernama Sie Kong Liong.
Walau tampak sederhana, rumah ini merupakan saksi bisu para pemuda-pemudi berbudi luhur yang tengah bersatu demi memperjuangkan kemerdekaan bangsanya lewat ikrar Sumpah Pemuda.
Kini, rumah tersebut telah menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Itulah beberapa tokoh Sumpah Pemuda yang rela memberikan waktu, tenaga dan materi untuk bangsanya.
Berkaca dari para tokoh diatas, keterbatasan situasi dan kondisi tak membuat mereka berhenti berkarya.
Mereka berjuang hingga titik darah penghabisan.
Sumpah mereka bukanlah sumpah asal-asalam.
Malah, momentum itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya Negara Indonesia.
Mereka berlomba-lomba menyumbangkan kemajuan demi bangsa tercintanya.
Mereka bahu-membahu guna mencapai cita-cita bersama, yakni merdeka.
Bisa dilihat, latar belakang dari pemuda-pemudi ini pun beragam.
Mulai dari barat hingga timur Indonesia.
Suku, ras dan bahkan agama mereka pun juga beragam.
Walau begitu, keberagaman itu tidak menyulitkan langkah mereka untuk bersatu.
Tidak ada tindakan saling caci-maki karena isu SARA.
Malah, mereka menganggapnya sebagai keuntungan yang patut untuk dijaga dan dilestarikan.
Buktinya, sekarang kamu bisa menikmati bukti nyata dari sumpah yang mereka jalankan.
Sayangnya, bangsa Indonesia zaman sekarang, khususnya para pemudanya, mudah sekali tersulut amarah dan tanpa pikir panjang untuk membuat keonaran.
Isu suku, agama, ras, dan adat-istiadat mudah sekali dijadikan sebagai bahan perpecahan.
Bukannya mengikrarkan sumpah persatuan, pemuda zaman sekarang malah saling melontarkan sumpah serapah yang menghujat satu sama lain.
Kecanggihan teknologi dan kemudahan fasilitas juga belum bisa dimaksimalkan untuk membangun bangsa.
Di media sosial saja, pemuda zaman sekarang lebih banyak curhat yang tidak penting, pamer berlebihan, membagikan informasi yang tidak positif, berkomentar negatif, dan bahkan menjelek-jelekkan orang lain.
Seharusnya pemuda zaman sekarang bisa menggunakan kecanggihan fasilitas ini dengan baik demi kemajuan bangsa dan negara.
Rasa bangga saat menggunakan bahasa asing dan ikut-ikutan budaya mereka juga semakin meningkat.
Belajar bahasa dan budaya asing memang baik.
Namun, kebanggaan akan budaya dan bahasa milik bangsa lain daripada milik sendirilah yang jadi permasalahannya.
Seolah-olah pemuda saat ini tidak menghargai bahasa persatuan yang sudah diperjuangkan sejak dulu.
Sudah seharusnya para pemuda zaman sekarang menengok ke belakang.
Para pemuda zaman sekarang perlu belajar dari sikap tokoh-tokoh yang memperjuangkan persatuan walaupun kecanggihan teknologi masih terbatas.
Isu SARA tak seharusnya dipandang sebagai masalah.
Bukankah sejak dulu kita sudah beragam?
Bukankah keberagaman itu indah jika dilestarikan?
Coba renungkanlah baik-baik.
Selamat hari Sumpah Pemuda! (TribunStyle.com/ Irsan Yamananda)